Seminggu berlalu, tapi kondisi Devon masih jauh dari kata stabil. Luka-luka di tubuhnya memang mulai membaik, tapi mental cowok kecil itu masih belum mengalami kemajuan sama sekali.
Devon juga sering tiba-tiba menangis ketika diajak bicara atau ketika Arson menanyai tentang alasan yang membuatnya sampai terluka begini. Jelas hal itu semakin membuat Arson kebingungan, tapi dia tetap berada di sana, sama sekali tidak meninggalkan rumah sakit hanya untuk menjaga Devon.
Ketika mendapati Devon yang sedang tertidur, Arson beranjak pergi ke toilet sebentar untuk membersihkan diri dan saat dia kembali, dia lagi-lagi mendapati Devon yang sedang diam dengan tatap kosong. Ini sudah sangat sering terjadi sejak hari itu. Tidak ada lagi senyum manis atau tawa menggemaskan yang dia tunjukan. Bahkan saat Arson mencoba mengajak ngobrol tentang hal-hal menarik yang dulu dia sukai, Devon tetap tidak memberi reaksi yang berarti. Seolah jiwanya telah menghilang, hanya menyisakan tubuh yang hampa.
Arson melangkahkan kaki mendekati Devon, mengambil posisi duduk pada kursi yang tersedia di samping ranjang. Tangannya terulur membelai pucuk kepala Devon dengan sangat pelan, tapi gerakan kecil itu tetap saja membuat Devon tersentak kaget. Dapat Arson lihat, dua mata bulat itu bergetar ketakutan, menatapnya dengan pandangan yang tidak fokus.
Arson cepat tanggap dengan hal itu. Tangannya yang tadi mengelus kepala Devon, kini turun pada pipinya. "Jangan takut ya, ini Arson. Gak akan ada yang bisa nyakitin lo selama gua disini, oke?" katanya berusaha mengambil alih atensi Devon.
Devon masih menatap ragu. "A—arson?" tanyanya.
Arson segera mengangguk. "Iya, gua disini"
"A—ayah... disini g—gak? Jauh-jauh k—kan?" Devon terus meracau dengan kalimat yang tidak jelas dan suara yang luar biasa bergetar. Tatapan matanya sudah mengedar pada seluruh penjuru ruangan, seperti memastikan sesuatu yang tidak ada disana.
Arson sedikit bingung dengan apa yang Devon katakan, tapi kurang lebih dia mengerti. "Gak ada siapa-siapa disini, cuman lo sama gua, jadi tenang aja ya" sahutnya.
Devon mengangguk ragu. Dia merebahkan tubuhnya dan bersembunyi di balik selimut. "J—jangan tau... Devon d—disini"
"Enggak, gak akan ada yang tau" jawab Arson seadanya.
Suster masuk ke dalam ruangan, membawa nampan berisi makanan. Devon yang sebelumnya hanya diam di tempat tidur, kini mulai bereaksi. Matanya menatap takut pada makanan yang dibawa suster, tangannya gemetar, dan kepalanya menggeleng ribut.
"E—enggak... Gak mau," gumam Devon dengan suara kecil, tapi terdengar sangat panik. "D—Devonnya gak makan."
Arson yang duduk di sebelah tempat tidur, segera mendekat pada Devon. "Devon, ayo makan, ya? Biar cepet sembuh" katanya dengan sangat lembut, berusaha membujuk.
Namun, Devon tetap menggeleng, matanya kini dipenuhi air mata. "E—enggak... J—jangan paksa... Nanti... N—nanti sakit" isaknya dengan suara yang mulai gemetar.
Suster menatap Arson dengan tatapan penuh simpati, lalu meletakkan nampan makanan di atas nakas di samping tempat tidur. "Jangan terlalu dipaksa, mas. Coba dikasih makanan yang ringan aja dulu," kata suster sebelum meninggalkan ruangan.
Arson menghela napas panjang, lalu mengambil sekotak susu kemasan dan beberapa keping biskuit dari dalam nakas yang berada di samping ranjang. "Devon, liat nih gua punya susu. Gapapa kalo emang lo gak mau makam, tapi minum susu aja, ya?"
Devon menutupi mulutnya dengan kedua tangan sambil menggelengkan kepalanya lagi. "E—enggak..." lirihnya.
"Coba sedikit saja. Lima teguk aja ya, sama tiga biskuit" bujuknya lagi.
Devon memandang kotak susu itu dengan ragu-ragu, kemudian beralih menatap Arson dengan matanya yang berkaca-kaca. Setelah beberapa saat, dia mengangguk tanda setuju.
Arson terkejut untuk sesaat, dia senang bukan main saat melihat Devon mau meminum susu yang dia tawarkan. "Sini, minum susunya dulu" katanya.
Arson memegangi kotak susu itu dengan sabar, menunggu Devon menyedot susu dari sedotan plastik dengan sangat perlahan. Dia memperhatikan setiap gerakan Devon dengan seksama.
Setelah Devon melepas sedotannya, Arson langsung menyodorkan kepingan biskuit di depan mulut Devon. Dengan hati-hati, dia menyuapi, berusaha supaya tidak menyakiti cowok kecil itu.
Devon mengunyah dengan gerakan yang sangat lambat, tapi sesekali dia masih meringis kesakitan. Arson tidak tahu, apakah itu karena luka pada bibirnya atau karena Devon yang tidak sengaja menggigit lidahnya lagi.
Meskipun begitu, Devon terus berusaha memakan biskuit yang Arson suapi sedikit demi sedikit. Namun, pada suapan biskuit yang kedua, Devon mulai meringis. "Mual..." keluhnya dengan suara pelan. Dia langsung menutup mulutnya dengan tangan secara spontan, diiringi ekspresi tidak nyaman yang terlihat jelas di wajahnya.
"Stt iya, iya ini udah makannya. Jangan dimuntahin ya," ujar Arson dengan lembut, mencoba menenangkan Devon. Dia menyimpan kotak susu dan biskuit pada nakas di samping tempat tidur, memastikan makanan itu tidak lagi membuat Devon cemas.
Arson kemudian ikut naik ke atas ranjang, membawa Devon masuk dalam pelukannya. Dia mengusap punggung Devon dengan gerakan lembut, berusaha memberikan kenyamanan dan rasa aman.
Devon perlahan mulai tenang dalam pelukan Arson. Rasa mualnya mereda seiring dengan usapan lembut di punggungnya. Perlahan kelopak mata Devon mulai tertutup.
"Arson..." cicit Devon memanggil.
"Kenapa?"
"Disini aja" Devon berbisik. Tangan kecilnya meremas ujung baju yang Arson kenakan dengan sangat kencang, membuktikan dia benar-benar takut ditinggalkan.
Arson tersenyum tipis. Memegang tangan Devon yang memegang ujung bajunya. "Iya, gua gak akan kemana-mana kok. Gua disini"
"Janji?"
Senyum di wajah Arson semakin lebar, dia mengusak surai halus milik Devon dengan gerakan pelan. "Gua janji" jawabnya dengan sangat yakin.
Arson terus memeluk Devon, merasakan tubuh kecil yang berada dalam pelukannya mulai bernapas teratur. Dia tahu, Devon sudah terlelap. Dengan gerakan hati-hati, Arson sedikit bergeser agar bisa memandangi wajah Devon yang tampak damai dalam tidurnya. Tangannya bergerak merapikan poni yang menutupi luka jahitan pada keningnya, memastikan tidak ada yang menghalangi pandangannya terhadap sosok kecil itu.
Arson menunduk, memberikan kecupan singkat pada bagian kening Devon yang dililit perban. Lalu, tangannya turun mengusap lembut pipi bulat milik Devon yang terasa sangat halus di bawah jemarinya. Meskipun masih ada bekas luka dan memar, bagi Arson, wajah Devon tetap terlihat manis.
Malam itu, Arson berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menemani Devon dan akan membuatnya bisa kembali tersenyum lagi dan menjalani harinya dengan bahagia tanpa dihantui oleh bayang-bayang kecemasan dan rasa takut.
Arson semakin mempererat pelukannya. "Gak akan gua biarin lo sakit lagi setelah ini" Arson berbisik pelan di telinga Devon, meskipun tahu kalau bisikannya tidak akan mungkin terdengar karena Devon yang sudah terlelap nyenyak. "Karena gua cinta sama lo, Devon" lanjutnya lagi dengan suara yang jauh lebih pelan dan lirih dari sebelumnya.
_____________________
Nih udah double up ya. Kalo cerita ini sampe 50 chap lebih gimana? Kebanyakan kah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...