33. Ketakutan yang nyata

57 4 0
                                    

Seno duduk di ruang tamu dengan gusar, matanya terus-menerus melirik kearah pintu. Setelah memastikan Jerren terlelap beristirahat, Seno segera bergegas turun dan menutup semua jendela dan juga pintu. Takut.

Hatinya tak tenang menunggu para sahabatnya pulang. Ia juga sudah sempat menelpon meminta Jeno agar segera pulang. Matanya menatap semua foto yang sudah ia susun acak diatas meja beserta surat. Tubuhnya tersentak saat mendengar pintu yang terbuka, Seno beranjak mendekat kearah para sahabatnya yang datang.

"Lo baik-baik aja, Ka?." Seno menekan perasaan cemasnya, ia ingin memastikan kondisi sahabatnya yang terluka.

"Ok, Sen. Tenang aja udah diobatin."

Menghela nafas pelan, tangan Seno menarik tangan Evan untuk segera mendekat kearah Meja untuk memperlihatkan foto-foto yang tadi didapatnya.

"Bajingan." Riki mendesis tajam saat matanya menangkap semua foto tersebut.

Sedangkan yang lain mematung dengan ekspresi terkejut. Evan mengambil salah satu foto Jerren yang diambil saat pemuda itu keluar dari ruang perawatan. Menatapnya dengan begitu dingin dan tajam.

"Ada paket yang datang atas nama Jerren tadi, tapi gak ada pengirimnya. Gue tanya Jeje apa dia ada pesen barang, tapi dia bilang gak ada. Pas gue buka isinya kayak gitu." Suara Seno bergetar, Jeno langsung mendekap dan merangkul baru sang abang berusaha menenangkan.

"Ada suratnya juga." Lirih Seno.

Jayden mengambil surat yang dimaksud, helaan nafas kasar terdengar dengan tangan yang terkepal kuat. Ia jatuhkan tubuh di sofa, dan kembali meletakkan surat diatas meja dengan kondisi terbuka agar dapat dibaca oleh para sahabatnya.

"Jadi ini yang dia siapin." Shaka bergumam dengan hati yang perlahan dilingkupi kecemasan.

"Maksud lo?." Jeno menuntut penjelasan.

"Sebelum kecelakaan gue sempet ngobrol sama Jerren, gue ngerasa ada yang aneh sama apa yang diceritain sama lo dan Jayden. Makanya gue tanya Jeje buat nanya pendapat dia." Katanya mulai memberitahu.

"Aneh gimana?."

Shaka menghela nafas pelan, kepalanya bersandar dikepala sofa. Pening menyerangnya membuat Shaka memejamkan mata. "Ya lo fikir aja, kenapa dia bisa seberani itu dengan terang-terangan ngancem Jerren? Dia pasti tau tentang kita. Karna itu dia gak mungkin gak punya persiapan apapun buat ngehancurin kita lewat Jerren, kan?."

"Dan ini jawabannya. Selain tau Jerren sebagai kelemahan kita, dia juga tau apa yang jadi kelemahan Jerren." Lanjut Shaka mengutarakan kegundahannya.

"Traumanya." Evan bergumam mengerti, spektakulasi-spektakulasi buruk mulai muncul dikepalanya.

Ternyata mereka terlalu meremehkan sosok tersebut, dan Evan kembali melakukan kesalahan dengan tidak menyadari itu.

Trauma yang menjadi kelemahan Jerren yang berusaha mereka tutup dari dunia luar. Alasan mengapa mereka begitu menjaga Jerren agar tak mudah tersentuh oleh orang lain. Masalalu mengerikan yang sampai sekarang belum bisa disembuhkan.

"Jangan biarin Jerren sendirian, usahain buat selalu ditemenin. Bukan cuma Jeje, kalian juga. Jangan pergi sendirian, mulai waspada, selalu laporin hal yang buat kalian curiga."

"Tolong buat saling menjaga." Ucap Evan mengambil keputusan final.

Mereka mengangguk setuju, dan terdiam membiarkan keheningan mengambil alih dengan isi kepala yang bergelut.

_________

Evan berdiri dibalkon kamarnya, dengan suara hujan yang mengisi keheninganan. Tatapannya lurus kedepan, kosong. Kemelut dikepalanya membuat Evan merasa begitu frustasi.

Sebuah foto yang sedari tadi dipegangnya menjadi dasar keresahan Evan. Bibirnya tersenyum getir saat menatap foto berisi foto dirinya dan Jerren di sebuah taman, yaitu taman rumah sakit. Foto ini ia dapatkan dari sekian banyaknya foto yang dikirim melalui paket yang belum diketahui pengirimnya.

Evan ingat, empat tahun lalu saat foto itu diambil. Kondisi Jerren sedang memburuk, penyakitnya sering kambuh karna faktor yang disebabkan oleh mimpi buruk paska kejadian kelam yang dialaminya. Evan seperti kembali kebeberapa tahun lalu dimana Jerren bahkan takut untuk bertemu dengan para sahabatnya.

Dan ketakutan itu nyata. Evan takut jika masa itu kembali terulang oleh sosok bajingan yang bahkan sampai sekarang belum Evan ketahui.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu menarik kesadaran Evan dari lamunan, ia terdiam tanpa berniat membuka suara untuk mengijinkan sosok dibalik pintu untuk masuk. Namun, sepertinya izin Evan tak diperlukan saat pintu perlahan terbuka dan memunculkan sosok Riki.

Riki berjalan mendekat kearah Evan, berdiri disamping pemuda itu yang bergeming tak terganggu akan kehadirannya.

"Gue ada pikiran buat minta bantuan Appa."

Evan akhirnya menoleh saat mendengar ucapan tak biasa dari pemuda keras kepala itu. Meski Riki tak membalas tatapannya karna menatap lurus kedepan.

"Baru kali ini gue ngerasa gak bakal mampu buat melindungi Jeje, Bang." Katanya berterus terang. Ekspresi wajahnya berubah nanar. "Gue juga sadar kalo orang yang bakal kita hadapi gak semudah itu, gue ngerasa gak becus."

"Lo sendiri juga liatkan, tadi? Buat ngejar mobil yang udah berniat celakain Jeje sama Shaka aja gue gak berhasil. Terus apa gunanya kemampuan balapan gue." Riki terkekeh pahit.

"Gue takut bang, bener-bener takut. Setelah semua kejadian yang bahkan terjadi didepan kita aja selalu berakhir kecolongan. Gimana kalo kita lengah dan Jeje kenapa-napa.

"Makanya gue pengen minta bantuan Appa. Kalo perlu, gue bakal minta bantuan Otousan juga." Sambungnya dengan pikiran yang kalut.

Dan untuk pertama kalinya sepanjang mereka bersahabat, ini kali pertama Evan melihat seorang Nakamura Riki menunjukan ketakutannya.

Karna demi tuhan, fase dimana Jerren kehilangan harapan hidupnya benar-benar mengerikan.

Dan mereka tidak ingin mengalaminya untuk kesekian kalinya.

Tebeceh


Sj, 24 oktober 2024

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

7 Sekawan (Slow Up)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang