;
Rambutku tak pernah panjang lagi. Kulit di tubuhku pun tak bisa mulus kembali. Semakin hari, semakin aku merasa tak berarti. Mengapa jalanku harus sesulit ini?
Mengapa harus aku?
Mengapa aku harus menyakiti diriku atas luka yang diciptakan orang lain?Kepalaku selalu berisik, gemuruh memaki penuh lantang pada bajingan yang hidup tanpa rasa bersalah. Ia sedang tertawa, di saat aku sedang tersiksa. Tikaman pisau tajam itu membabi buta menerjang aku tanpa kata-kata.
Air mata ku tak pernah benar-benar kering, meski ratusan kali ia meleleh membasahi wajah yang penuh rasa sakit. Semakin banyak tetesan itu, aku semakin menderita, serasa menabur garam pada luka yang menganga. Aku harus bagaimana?
Pertahanan itu selalu runtuh, di saat aku menangis meminta paham kepada orang lain, kendati bersimpati, mereka memandangku dengan tatapan tak perduli, lukaku katanya bukan apa-apa.
Katanya, aku hanya meniru-niru, saat tanganku berdarah-darah.
Katanya, aku tidak sebanding dengan mereka, bahu ku tidak seberat bahu mereka.
Katanya, aku hanya mencari perhatian, saat aku tengah mencoba untuk bertahan.Apa benar tidak semua manusia boleh terluka?
Apakah tidak semua manusia pantas bersuara; Atas luka yang mereka punya, atas kesakitan yang mereka derita, atas kematian yang akhirnya mereka pinta.
-31 Mei, 2024.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Poem; Mental Illness
PoetryAtas semua kekacauan dalam kepala, puisi ini tercipta. Pada setiap luka yang mendarah-darah, puisi ini adalah perantara. Abadilah dalam setiap dendam yang membara. -The Poem; Illness. Adrni