-Rabu, 10 Juli 2024.
Saat kecil, aku memandang sebuah pernikahan adalah akhir yang bahagia dari sepasang kekasih yang akhirnya hidup bersama. Memiliki seorang anak, cucu, dan akhirnya dipisahkan oleh kematian. Pemikiran polos itu menjadi sebuah harapan untuk sebuah mimpi masa muda bahwa aku akan menikah dengan seseorang yang ku cintai.
Pernikahan adalah sebuah hal yang membahagiakan, aku tersenyum saat memikirkan itu. Senyum miris yang akhirnya membuatku tersadar akan kenyataan yang ada.
Seiring berjalannya waktu, semakin mataku menatap dengan jelas, pun telingaku juga semakin banyak menangkap fakta tentang pernikahan. Aku salah, salah dalam berpikir. Pernikahan ternyata tidak seindah itu.
Ada yang saling mencintai, namun ternyata berakhir dengan kata cerai, ada yang dijodohkan akhirnya usai juga. Cinta ternyata tidak sepenting itu, semuanya tergantung oleh manusia yang berperan di dalamnya.
Ada yang berbicara tentang suaminya yang selalu bersikap kasar, suami yang tidak mengurus anaknya, suami yang selalu memandang istri sebagai pemuas nafsu semata, suami yang menganggap bahwa wanita adalah pembantu seumur hidup, suami yang terlihat cinta nyatanya bermain belakang dengan wanita lain. Atas fakta itu, aku tidak sudi untuk memimpikan pernikahan lagi.
Aku mulai berpikir, lelaki semuanya bajingan. Pemikiran untuk melajang seumur hidup hinggap di benakku dan kemudian menetap disana untuk waktu yang lama. Aku tau, pernikahan adalah sesuatu yang baik, tetapi ketakutan untuk bersanding dengan seseorang yang salah menutupi pandanganku, dan harapanku untuk berjalan di atas status pernikahan pun pupus. Aku tidak menemukan sosok lelaki yang merubah pandanganku tentang kehidupan pernikahan yang berbeda dengan pernikahan lainnya.
Pada akhirnya, sore itu aku mengemukakan pandanganku kepada ibuku. Pandangan ku yang tak akan pernah ibu duga.
"Bu, tidak apa-apa 'kan jika aku tidak menikah? Aku takut untuk menjalani pernikahan dengan lelaki yang salah. Bahkan jika rumah tangga ibu dengan ayah baik-baik saja, aku tetap merasakan bahwa ibu pasti lebih bahagia jikalau saja tidak menikah dengan ayah. Aku takut bu, pernikahan di mataku sudah sehancur itu. Aku tidak mau menanggung resiko di remdahkan, dibentak, bahkan menahan trauma yang mendalam karena sosok suami yang tidak dapat menjalankan perannya dengan baik. Kelak, aku juga takut menjadi seorang ibu, aku takut anakku tumbuh menjadi seperti aku. "
Aku menutup mata, kala melihat kau terdiam dengan pandangan nanar menatapku, kemudian tersenyum palsu mencoba berpikir bahwa mungkin aku melontarkan sebuah candaan kepadamu.
Tidak ibu, aku tidak pernah bercanda saat mengatakan aku tidak akan menikah. Pemikiran itu ku genggam erat sampai sekarang, aku takut untuk melepasnya dan berakhir dengan hidupku yang semakin sengsara.
Aku harap kau mengingat perkataan ku, saat kelak kau bertanya-tanya mengapa anakmu tidak menikah disaat umurku yang sudah menginjak angka legal untuk pernikahan. Aku harap kau paham, aku harap ibu tidak kecewa padaku.
Kepadamu, sosok diriku di masa kecil, maafkan aku yang telah memadamkan harapanmu dengan paksa.
;
KAMU SEDANG MEMBACA
The Poem; Mental Illness
PoetryAtas semua kekacauan dalam kepala, puisi ini tercipta. Pada setiap luka yang mendarah-darah, puisi ini adalah perantara. Abadilah dalam setiap dendam yang membara. -The Poem; Illness. Adrni