Bab XV: Mengulang Masa Lalu

38 5 1
                                    

cw // mention of suicide; violence

"Ketika kalian memikirkan pengobatan, kalian akan berpikir tentang cara terbaik untuk menyelamatkan seseorang," ucap Grand-Healer Rosethorn.

Clarity mendongak, memperhatikan master-nya yang berdiri di depan kelas. Di depannya adalah sebuah boneka, terkunci dalam selubung novasihr yang mengizinkannya untuk bertindak seperti manusia — sebuah alat peraga yang akan membantu para murid untuk mempelajari teknik-teknik penyembuhan.

"Tapi," mulai sang grand-healer. "Kalian tak bisa hanya mengandalkan obat-obatan dan tanaman — ada banyak cara untuk menyelamatkan orang lain."

Tapak dara itu menyentuh bonekanya, pendar pir putih menyala redup di dahi. "Akupuntur," dia berbisik.

"Bagus sekali, Healer Vernifelon," ucap master-nya.

"Aku membaca tentang Oliver Crystalbone yang menggunakannya untuk menyerang."

"Menyerang?" ulang seseorang. "Seorang penyembuh justru seorang pembunuh?"

Sang tapak dara melihat master-nya diam, hingga dia menarik nafas, menoleh pada murid tersebut. "Itu akan menjadi masalah moralnya," dia berucap. "Kau tak mungkin bertanya kepada pembuat hukum soal keadilannya."

"Pembuat hukum juga bisa salah."

"Salahkan pedoman di dalam dirinya," balas gadis itu kembali. "Sama dengan ini. Lagipula, kau tak bisa bertanya pada seseorang yang sudah tiada tentang apa yang telah dia lakukan."

"Apa itu mungkin?" tanya murid yang lain, menoleh pada master mereka. "Membangkitkan seseorang yang mati?"

"Nah," balas sang guru, tersenyum seolah dia telah menghadapi pertanyaan yang lebih aneh. "Itu berada di luar kuasa kita. Jika kita memiliki kemampuan untuk itu, bukankah dunia akan terasa begitu sempit?"

"Tidak ada keseimbangan di antara hidup dan mati," bisik Clarity, mengingat apa yang ada di dalam ajaran Istana Langit.

"Lalu kenapa ada yang mengatakan bahwa mereka melihat jiwa orang-orang tersayang mereka?" ucap murid tersebut, masih bertanya. "Apa mereka mengatakan yang sebenarnya atau itu hanyalah kegilaan belaka?"

"Sane'i 'en puha'ta se'," ucapnya. "Kalian mempelajari bahasa kuno sebelum masuk kemari 'kan?"

Clarity menunduk, menatap tangannya sendiri.

Sane'i 'en puha'ta se' — rasa duka mendalam akan menghancurkan kesadaran dalam hidup yang tengah mereka jalani.

Itu adalah salah satu dari pepatah-pepatah pertama yang diajarkan pada mereka. Bahwa tak ada satu pun yang bisa mengendalikan hidup mereka kecuali takdir — bahkan duka sekalipun.

Bahwa mereka tak bisa menyimpan rasa sedih yang terlalu mendalam. Bahwa mereka harus menyadari batasan antara duka dan obsesi. Bahwa mereka harus terus melanjutkan hidup apapun yang terjadi.

"Urusan kegilaan setelah kematian seseorang adalah urusan yang menjadi milik Istana Langit," mulai master mereka kembali. "Namun apa yang terjadi sebelum jantung mereka berhenti berdetak adalah urusan kita."

Clarity menunduk, memperhatikan bonekanya yang berada di depannya, lalu beberapa jarum yang akan menjadi alatnya. Oliver Crystalbone membuat teknik pertahanan sebelum dia meninggalkan mereka.

Tapi untuk apa? Apa yang mengancam mereka hingga mereka menciptakan teknik sendiri untuk melindungi diri mereka?

"Aku memiliki pertanyaan lain," ucap si tapak dara, membuat para murid beralih padanya. "Apa teknik ini juga dapat digunakan untuk membunuh diri kita?"

Under the Sky and Moon • sunsun • end •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang