Bab XIX: Buku Tahunan

45 5 5
                                    

Emmanuel masih berada di ranjangnya. Jika dia memiliki satu kebiasaan yang tak dia lepaskan bahkan semenjak Oliver meninggal dunia, itu adalah rasa malasnya setelah dia melaksanakan ujian.

Berbaring sebentar takkan melukainya, walaupun dia merasa bahwa dia masih memiliki sesuatu untuk dilakukan. Dia mengerutkan dahi ketika merasakan beban bertambah di ranjangnya, berbalik.

"Menyingkir dariku, Ben."

Benjamin meletakkan tangannya di sisi yang lain, sekali lagi memerangkapnya. Dan kini, Emmanuel dapat melihat wajahnya dari bawah, memicingkan mata.

"Apa yang kau inginkan?"

"Kau tak pulang ke rumah?" dia bertanya. "Istana akan terasa begitu sepi dan menakutkan — kau tentu saja tahu tentang kisah-kisah hantu setelah banyak sekali tragedi disini."

Emmanuel tertawa kecil, mengalihkan satu sisi wajahnya pada bantal, dan bahkan dari sudut matanya, dia dapat melihat bel biru itu tersenyum.

"Jika istana ini memiliki banyak kisah hantu," mulai sang Crystalbone, mendorongnya hingga lengan itu lepas dari ranjangnya. "Kakakku telah berada di dalamnya."

"Noel," mulainya, menghela nafas. Dia mengawasinya bangkit dari ranjang. "Kau yakin kau tak membutuhkanku?"

"Untuk apa?" sahutnya. "Pulanglah. Kau harus menjelaskan pada orang tuamu jika kau tak kembali."

"Bagaimana dengan orang tuamu?"

Emmanuel terdiam. Di kali pertama Oliver kembali dari Istana Rabani, dia dan orang tuanya telah menerima berita bahwa mereka berdua telah melaksanakan pernikahan disana.

Baginya, itu bukanlah sebuah masalah. Namun ayahnya harus berdiam di ruangannya selama beberapa waktu sebelum akhirnya menerima bahwa putranya telah memiliki kelopak bunga lain di kalungnya.

Mungkinkah mereka akan memikirkan hal lain — atau mengharapkan sesuatu yang sama, ketika Emmanuel menyurati mereka tentang ketidakhadirannya di rumah selama liburan ini?

Namun dia memutuskan untuk tidak memikirkan itu. Lebih baik untuk tidak. "Mereka baik-baik saja."

Benjamin menahan lengannya. "Mereka hanya memiliki satu anak sekarang," dia berbisik. "Tanpamu, mereka akan kesepian."

"Mereka takkan," ucapnya, melepas genggamannya sebelum beranjak. "Pergilah. Mereka tak menunggu untuk satu orang."

Havenglow itu menoleh ke arah pintu, dimana hiruk-pikuk orang-orang terdengar dari luar, sebelum dia beralih padanya kembali. "Aku akan kembali dalam waktu satu minggu."

Emmanuel mengerutkan dahi, menoleh padanya. Mungkin dia harus menunda mandinya pagi ini jika Benjamin terus mengajaknya berbincang. "Kita memiliki waktu tiga minggu untuk berlibur."

"Agar aku dapat melewatkan petualanganmu?" dia tertawa, meraih tasnya. "Takkan pernah."

Dan barulah Emmanuel menyadari bahwa dia telah mengenakan jubah biru mudanya, bel biru bersulam gelap disana sementara rambutnya diikat menjadi satu ekor kuda di belakang kepalanya.

"Apa kau bahkan memotong rambutmu?"

Benjamin meraih ujung-ujung helainya, tersenyum. "Memperhatikan rambutku?"

Crystalbone itu mengalihkan pandangan, kembali menatap jendela yang berada di depannya. "Pulanglah," gumamnya, menyentuh pipi dengan punggung tangannya.

"Aku akan kembali," janjinya. "Satu minggu."

Pintu tertutup, dan dia dapat mendengar laki-laki itu menyapa orang-orang di luar, semua yang pulang untuk liburan telah berkumpul, menunggu kereta yang akan menjemput mereka.

Under the Sky and Moon • sunsun • end •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang