Memang Helia sembuh dari sakitnya. Tapi, tak bisa di pungkiri kalau seluruh tubuhnya di penuhi tato kemerahan, siapa lagi pelakunya kalau bukan Zion Gelvara?
Siapa yang harus di salahkan? Sumbu api pertama juga Helia. Di tambah lagi, Zion tak bisa menahan diri, seperti yang di inginkannya.
Alhasil membuat keduanya kembali menyatukan tubuh. Memang tidak sesakit saat di kolam renang. Tapi tak bisa di pungkiri juga kalau akibat aktivitas semalam masih menyisakan sedikit rasa perih di bagian privasi Helia.
"Nggak habis pikir aku sama kamu, Kak. Mending kita pisah ranjang aja deh!" seru Helia kesal, seraya memasang kancing kemejanya satu persatu.
"Kan aku udah main lembut, Hel?" bantah Zion, tak lama kemudian terbatuk-batuk, sambil makin mengeratkan selimut yang membalut tubuhnya.
"Iya, tapi kamu nggak bisa tepatin ucapanmu! Mending kita pisah ranjang, ini juga demi kebaikan kita!" sahut Helia, bibirnya mencebik.
"Lah kamu yang mancing awalnya, kok jadi aku yang paling di salahin disini?!" seru Zion tak terima.
Helia merotasikan bola matanya malas. "Nggak usah ngelak, harusnya kamu bisa nahan diri! Tetep aja ini salah kamu, Kak Zi!"
"Tapi ada manfaatnya juga, kan? Kamu nggak sakit lagi sekarang?" sanggah Zion. Jujur saja, rasanya aneh kalau serumah tapi tidak satu kamar. Zion tidak mau!
Helia mengeram kesal. Bagaimana bisa pria dewasa yang terbaring lemah di ranjangnya itu banyak bicara? Apa dia memiliki tenaga sebesar itu? Harusnya diam saja, sampai dia sembuh kan, beres? Dari pada terus menyahut, malah bikin Helia makin kesal.
"Ya nggak gitu kak! Nikahin dulu baru kita ngelakuin, dan kamu udah ngelanggarnya dua kali lho, dua kali!" pekik Helia beranjak pergi dari kamar itu, tak peduli meski Zion sakit, ia masih meninggikan suaranya. Sungguh, Helia adalah tipikal calon istri yang suka marah-marah.
"Janji yang semalem terakhir!" Zion bangkit dari ranjang, masih berusaha mempertahankan selimutnya, sekaligus mempertahankan Helia agar mereka tetap satu kamar. Janji, kali ini dia tidak akan macam-macam.
Langkah kaki Helia berhenti di depan pintu, menoleh pada Zion dengan tatapan nyalang. "Bulshit! Nggak mau tau, mulai nanti malam kita pisah ranjang!"
"Nggak mau Hel! Gara-gara kamu penyakitmu nular ke aku, masa kamu tega sama tunanganmu sendiri? Aku udah rawat kamu lho!" jelas Zion tak mau kalah.
"Hidih! Kamu pikir aku peduli? Tubuhku semuanya pegel-pegel tau! Itu karena siapa? Karena ulahmu kak!" hardik Helia.
"Inget, kamu semalam ngedesah keenakan!" seru Zion. Tentu saja desahan Helia yang membuatnya makin gila semalam.
Ah, harusnya Helia jangan munafik, Zion sangat tau kalau wanitanya itu juga ikut menikmatinya. Bahkan sampai sekarang terngiang-ngiang di pikirannya. Saking gilanya dia jika tentang Helia.
"Enak aja! Bukan desah itu!" bantah Helia. Tangannya mengepal, ingin rasanya melempar vas bunga ke kepala calon suaminya yang keras kepala itu, namun ia harus tahan, Zion sekarang lagi sakit, jadi belum waktunya.
Kedua alis Zion terangkat kompak, meragukan bantahan Helia. "Kalo bukan desah, terus semalem suara apa coba? Ambulan? Mana ada ambulan bunyinya ah-aah-aah?"
Helia menghentakkan kakinya kasar ke lantai. Kedua tangannya mengepal, karena kesal. Rasanya ia sudah mau ngulek wajah Zion sampai halus, apalagi senyum miringnya, sialan! Bikin makin naik darah.
"Kak Zion sinting!" Helia langsung berbalik ke arah pintu. "Nggak mau tau kita harus pisah ranjang pokoknya!" pekiknya seraya melangkah lebar-lebar keluar kamar.

KAMU SEDANG MEMBACA
ZION'S INFERNO
Romance[DARK ROMANCE STORY] Zion pernah bertemu dengan gadis kecil, namanya Helia. Ia bertemu Helia saat acara pertunangannya berlangsung. Ia mengingat sosok gadis kecil itu, hingga waktu mempertemukan mereka kembali, namun gadis itu bukan lagi pelayan mel...