8. Different.

368 48 6
                                    

Echi ditidurkan di sofa ruang tamu dengan menggunakan paha Caine sebagai bantalan. Sementara Pak Sui memeriksa kondisi Echi, Rion mengobrol bersama Krow dan Selia serta Mia.

"Echi gapapa. Dia cuma melamun. Kalo bisa coba buat dia tidur aja daripada melamun." ucap Pak Sui.

"Kalo masih gamau tidur kasih ramuan ini aja." sambung Pak Sui sembari mengeluarkan botol kecil berwarna hijau tua dan membuka penutupnya.

Bau itu menyeruak masuk kedalam hidung semua orang. Rion menatap Pak Sui sambil mengomel sementara Caine menatapnya dengan tajam.

"Duh bau apa ini?! Baunya kaya tai kuda!" ucap Echi yang tersadar sambil memegang hidungnya.

"Enak aja dibilang tai kuda." balas Pak Sui dengan wajah sebalnya.

"Lo pindah ke kamar sana Chi, kasian mami dari tadi duduk begitu ga ngerubah posisi gara-gara lo tiduran di paha mami." ucap Selia.

"Bener tuh, lo tadi abis ngapain sampe melamun kaya gitu?" tanya Krow.

Echi memilih tak menjawabnya dan segera bangkit dari tidurnya. Ia berjalan menuju kamarnya mengabaikan semua orang yang sedang melihatnya.

"Gue kadang heran. Ntar hari ini Echi tantrum, besoknya kalem kaya begini." ucap Istmo.

"Ga usah dipikirin, kek. Mungkin mood kak Echi lagi jelek." balas Mia dengan wajah polosnya.

Istmo mengangguk pelan. Mereka pun mulai saling mengobrol dalam jangka waktu cukup lama.

><><><><><><><><><><><><><><><><><><

Echi membaringkan tubuhnya diatas kasur miliknya. Ia mulai mengingat-ingat kejadian dimana Gin tertangkap basah di depan matanya sedang menusuk Aenon.

"Gue yakin yang nusuk sepupu gue itu Gin. Kalo bukan, mana mungkin dia megang pisau yang diarahin ke perutnya Aenon?" gumam Echi.

Tak lama suara dering telpon berbunyi. Dengan cepat ia mengangkat nya setelah dirinya menemukan tempat dimana ponselnya berada.

"Ke perbatasan. Gue tunggu jam 8 malem nanti."

"..." Echi tak merespon perkataan yang keluar dari telepon tersebut.

"Lo denger apa yang gue bilang gak?!"

"Ga penting. Buat apa juga gue--"

"Kalo gitu, nyawa Gin juga ga sepenting itu buat lo."

"Bangsat lo ya!" umpat Echi. Suara kekehan pun terdengar dari ponselnya.

"Gue tunggu kehadiran lo."

Telepon itu pun dimatikan secara sepihak. Echi melihat jam di kamarnya. Ia bernafas lega karena ini masih jam 6 sore. Ia pun bangkit untuk segera mandi dan turun ke ruang tamu untuk bergabung bersama keluarganya.

"Baju lo rapi amat. Mau kemana?" tanya Rion terheran-heran.

"Nanti jam 8 mau jenguk Gin sekalian jalan-jalan." balas Echi tak acuh.

"Ikut dong, Chi." sahut Krow.

"Mia juga mau ikut!" sambung Mia dari samping Caine.

"Gue di rumah dulu. Kalo ada bahaya, langsung lapor di radio." ucap Caine.

Echi mengangguk. Suasana di ruang tamu itu pun kembali sunyi. Di hari biasa Echi akan meramaikan rumah itu, tetapi hari ini perempuan berambut ungu itu terlihat menjadi pendiam semenjak Gin dan Aenon bertemu.

"Gue berniat buat masukin sepupu gue ke sini. Menurut lo gimana, pak?"

Rion yg sedang menyalakan rokoknya itu pun menoleh ke arah Echi. Sejenak, Rion terlihat sedang berpikir sesekali juga ia melihat kearah Caine.

"Lo udah cari tau asal usulnya sampe ke akar?" Echi mengangguk.

"Kita bakal rundingin dulu nanti setelah lo balik dari Gin. Sana otw, udah jam setengah 8 ini."

Krow dan Mia langsung bersiap naik ke atas menuju kamarnya untuk berganti baju sedangkan Echi menunggu di ruang tamu sambil melihat ponselnya.

"Lo ga ikut nemenin Mia, Mako?" tanya Caine.

"Maunya sih gitu tapi Mako lagi capek mi. Biar Krow dulu yang jaga Mia." Caine mengangguk.

Setelah Krow dan Mia selesai bersiap, mereka bertiga pun langsung pergi menuju kendaraan mereka masing masing dan keluar dari pekarangan rumah.

"Lo duluan, Krow. Gue ikutin dari belakang." ucap Echi.

"Tumben amat?" tanya Krow heran.

"Udah, ga usah banyak nanya lo. Buruan."

Tanpa rasa curiga, Krow menancap gas dan pergi lebih dulu daripada Echi. Sedangkan Echi yang berkata ingin menjenguk Gin nyatanya berhenti di Supermarket perbatasan tol.

Ia memarkirkan mobilnya disana dan menelpon pria yang tadi sempat berbicara dengannya sebentar.

"Lo rajin banget udah sampe perbatasan. Takut Gin mati?"

"Bacot lo! Dimana Gin?" tanya Echi tanpa basa-basi.

"Santai dong. Ga usah terburu-buru, lagian ini masih jam 19:50 kok. Ya kan Gin?"

'Hm!!'

"Buruan dateng kesini sebelum gue buru lo dijalan."

"Emangnya lo bisa ngelacak gue ada dimana?"

"Bisa dan sekarang gue lagi ngeliatin lokasi lo."

Echi tersenyum tipis sambil melihat ke laptop miliknya. Sejak ia menelpon nomor pria itu, ia sudah melacaknya sebelum dirinya berangkat menuju perbatasan. Persiapan yang sempurna, pikirnya.

"Boleh juga lo. Cewek secakep lo harusnya jadi punya gue, ngapain ngejar Gin yang bahkan ga mau sama lo."

"Peduli gue apa? Gue tunggu 5 menit, sampe lo ga dateng selama jarak waktu yg udah gue kasih, gue kejar lo." ucap Echi sambil menekankan setiap perkataannya.

"Aduh, gue takut! Hahaha! Kalo gitu, good luck Echi Ceres."

Telepon itu dimatikan dan ia mulai memberi waktu 5 menit untuk pria itu datang. Echi menunggu sembari bersandar di mobilnya dan merokok sesekali.

Tak disangka, mobil yang tak dikenal benar-benar sampai di depan matanya dalam jangka waktu 5 menit. Echi membuang puntung rokoknya dan menghampiri mobil itu.

Dengan cepat ia memecahkan kacanya dan menarik Gin keluar dari mobil sebelum pria tak dikenalnya mulai bertindak.

"Wow, reaksi lo boleh juga." ucapan kagum itu tak digubris oleh Echi.

Echi melepas penutup mata dan mulutnya sehingga Gin bisa melihat dan berbicara dengan jelas.

"Echi.."

Yang dipanggil tak digubris namun tetap meletakkannya pada jarak yang aman. Echi maju sambil menodong pistolnya pada pria bertopi itu.

"Gak akan ada gunanya lo begini. Lo bunuh gue sama dengan lo mancing satu kanpol." Echi tak mengubah ekspresi wajahnya.

Ia tetap menodong nya hingga pria itu tergerak mundur dan terkena mobilnya. Echi dengan tatapan tajamnya membuat Gin dan pria itu merinding.

"Gue ga peduli lo darimana. Selagi lo cari masalah sama gue, berarti lo cari masalah sama keluarga gue."

"Gue suka gaya bicara lo. Gue Zilla Zakaria."

"Gue ga butuh nama lo. Jelasin maksud lo bawa Gin dalam kondisi begini ke gue sekarang."

Pria bernama Jakar itu hanya tertawa sambil memegang perutnya. Ia mengeluarkan pistol dari jaketnya dan mengarahkannya pada Gin.

"I want you. If i can't have you, then no one should."

Tbc

Halo haloo, aku udah balik!! Hehehe, maaf ya udah hiat 1 minggu. Aku bakal post 2 chapter khusus, pagi ini dan malam nanti.

Ditunggu yaw😉

INAMORATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang