•••
"Cuma itu?"
"Apanya yang 'cuma itu'?"
Jaya memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Sabda yang tengah memilih beberapa buku dari rak yang menjulang tinggi di hadapannya. "Apa hebatnya dari—berhasil minum obat pil tanpa dihancurin dulu?" Jaya akui dia memang memiliki rasa penasaran yang cukup tinggi, bahkan dia pernah sekali penasaran dengan bagaimana cara kucing Jemy dapat membedakan antara makanan kucing yang mahal dan yang biasa biasa saja, soalnya dia cuman doyan makanan mahal.
"Hebat lah, bunda bilang gue keren karena gue bisa nelen pil obat di umur tujuh belas tahun!" Dia menampakkan wajah sombongnya yang terlihat tengil itu, Jaya cengo, dan lagi—apanya yang keren??
"Tua amat, gue bisa nelen dari umur sembilan tahun, because my parents said itu hal yang wajib, jadi... kalau gue bisa... yaudah."
"Wah.. kalau itu namanya udah suhu, umur sembilan tahun mah gue mesti dibohongin dulu kalau mau minum obat."
Tidak ada yang spesial dari hal itu, Jaya pikir semua orang bisa melakukannya, tapi mendengar Sabda memberitahu bahwa ibunya memuji dirinya keren hanya karena bisa menelan pil obat tanpa dihancurkan dahulu di umur tujuh belas tahun—Jaya jadi bertanya tanya sendiri, kalau begitu bukankah semua hal yang telah ia lakukan selama hidup delapan belas tahun—hampir sembilan belas ini keren? Jaya bisa menelan pil obat di umur sembilan tahun, dia bisa naik sepeda waktu masih kelas satu SD, dan yang lebih keren—dia nggak pakai roda bantuan untuk belajar, tapi kenapa mami sama papi tidak pernah menyebutnya keren juga?
Dia baru disebut keren waktu berhasil masuk University of Edinburgh, dia baru disanjung hebat waktu berhasil menjadi murid akselerasi yang tidak merasakan menjadi anak kelas 2 SMA, dia juga baru menerima pujian pujian seperti itu ketika berhasil mencapai suatu keberhasilan besar yang bisa dilihat oleh banyak orang.
Jaya berdecih lantas berkata dengan sedikit ketus, "Gue emang selalu lebih hebat dari yang lain." Sabda hanya mengiyakan sekilas tanpa mengalihkan atensi nya dari tulisan tulisan panjang dalam buku yang tengah ia baca.
"Sab."
"Apaan?" Cowok itu akhirnya menoleh setelah terlalu fokus membaca buku sambil berdiri. "Gue mau beli sepatu, temenin, nggak tau daerah sini." Jawab Jaya sambil mengembalikan buku yang telah ia baca sekilas dan ternyata tidak menarik untuknya. Judulnya The Things You Can See Only When You Slow Down.
"Oke."
•••
Perlu kalian ketahui, Sabda bukan berasal dari keluarga yang oke-oke banget dalam urusan materi, mungkin dia bisa dibilang berasal dari keluarga kelas menengah, tidak bisa disebut miskin tapi untuk disebut kaya—dia tidak mampu juga untuk membeli tiga pasang sepatu sekaligus dengan harga yang fantastis seperti yang saat ini tengah dilakukan oleh Jaya. Awalnya dia hanya kebingungan memilih model seperti apa yang lebih cocok dengan kakinya, namun ujung ujungnya anak itu membeli ketiga tiga nya. Sabda rasanya kepengen minta satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hartono's Family
FanfictionDibalik kebahagiaan keluarga yang katanya cemara, ada harga mahal yang harus dibayar. •••