16th. Kepada Siapa Tuhan Berpihak

394 45 8
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

[ Edinburgh, Skotlandia ]

"Semua orang di Jakarta apa kabar? Jemy baik-baik aja? Aku denger dari Jaya kalau dia lagi ada masalah, Jerry ikut keseret nggak? Dia kan suka ngintilin adek kemana mana." Pertanyaan beruntun keluar dari mulut Liana, lalu pada detik selanjutnya terdengar kekehan samar dari Erick yang menatap lurus pada jalanan didepannya. "Semua kabarnya baik, adek juga udah nggak apa-apa, tapi akhirnya dia milih buat ngelepasin kedokterannya dan fokus ke fotografi, he likes that stuff so much." Erick menjawab dengan setengah bercerita.

"Jerry? Nggak mungkin dia nggak ikut." Liana melirik sang ayah sambil terkekeh, saat itu juga gelak tawa Erick pecah, "You know your little brother so well.. iya, dia minta buat fokus ke dunia entertainment dan ambil beberapa kelas modeling sama fashion."

Liana berdecak tiga kali sambil menggerakkan kepalanya, "Kalau Jemy nikah kayaknya yang nangisnya paling kenceng bukan mama tapi dia. Aku jadi kangen, dulu mereka waktu masih kecil sering banget aku marah marahin karena hal sepele, Jerry sempet kirim email ke aku, dia cerita kalau uang jajannya dipotong setengah sama papa." Liana tertawa mengingat betapa dramatisnya isi pesan email tersebut beberapa bulan yang lalu.

"Mas cerita ke kakak kalau uang jajannya papa potong?" Erick menoleh sebentar lalu kembali fokus pada jalanan luas didepannya dan berucap setelah Liana mengangguk sekenanya, "Iya papa potong setengah soalnya dia bentak mama waktu itu."

Kemudian hening selama beberapa saat sampai mobil yang dikendarai oleh Erick memelan ketika mendekati rambu lampu lalu lintas, mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat untuk bertemu Dimas, Mareeta serta Jaya, tepat saat mobilnya berhenti, Erick menolehkan kepalanya ke arah sang putri dan mengusulkan sebuah ide yang sama sekali tidak pernah terlintas dipikiran Liana selama ini.

"Ini kalau di Indonesia masih pagi banget, kemarin malem papa cerita ke abang kalau papa lagi ada disini ketemu sama kamu, and you know whats he said after that? Katanya dia pengen ngucapin selamat ulang tahun juga, boleh papa video call abang? Jam segini mas sama adek juga masih pada dirumah."

Erick tidak menunggu persetujuan dari Liana untuk mengeluarkan ponsel miliknya dari saku jas pria itu untuk melakukan video call dengan Mahesa. Hubungan Liana dengan ibunya mungkin masih keruh sampai saat ini dan itu memisahkannya dari ketiga saudaranya yang lain juga, Erick tidak mau hal ini berlanjut terlalu jauh, dia tidak mau keempat anak anaknya asing satu sama lain apalagi dengan si sulung, dia tidak mau saat anak anaknya nanti tumbuh semakin dewasa—mereka tidak mengenal saudara sedarahnya sendiri.

Waktu masih kecil, Erick pernah bertengkar hebat dengan kakak sulungnya—Johnny, sampai-sampai dia nekat buat minggat dari rumah Shaka ke rumah mendiang kakeknya karena benar benar tidak mau melihat wajah kakaknya, dia mendekam dirumah sang kakek selama empat hari dan menolak untuk pulang saat dijemput sampai pada akhirnya pria tua itu memberikan nasihat untuk Erick, dia berkata dengan tempo yang sangat pelan, 'Nak Erick.. Keluarga itu seperti sebuah pohon yang ditumbuhi ranting ranting kecil dan dedaunan yang harus dijaga baik-baik supaya tetap tumbuh dengan kokoh. Kak Jo itu kan kakak kamu, anak sulung, wajar kalau sering nasihatin kamu, itu tanda nya dia sayang, kakek tahu Erick pasti juga sayang kan sama kakak? Ini udah hari ke-empat, nggak baik loh marahan sama orang lebih dari tiga hari.. apalagi marahnya sama orang yang kita sayang, kata nenek, kalau kita berpisah sama orang yang kita sayang dalam keadaan marah.. nanti hasilnya cuma penyesalan."

The Hartono's FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang