Dibanding

53 21 7
                                    

~Coba kemarin waktu pembagian anggota keluarga gue datang. Mungkin sekarang gue hidup bukan seperti binatang~
♬♩♪♩ ♩♪♩♬

Qaila sampai dirumah pukul tujuh lewat. Itu karena dia mengajak Rafael mampir makan lotek sepulang sekolah di kantin mbak tina. Yang harusnya sebelum jam enam dia sudah sampai dirumah, akhirnya molor satu jam. Dengan langkah pelan ia menaiki satu persatu anak tangga. Hari ini cukup melelahkan.

"Kenapa baru pulang?" Itu suara papanya. Dengan malas Qaila menoleh ke bawah.
"Mampir makan lotek tadi" Jawab Qaila seadanya, melanjutkan langkahnya.

"Kekurangan makanan kau dirumah heh, sampai harus membeli makanan dipinggir jalan?" Astaga pria itu meremehkan kenikmatan makanan kaki lima.

"Bukan kekurangan makanan, cuma mama aja yang ga pande buat lotek. Jadi mau ga mau beli diluar" Jawab Qaila yang telah sampai di depan pintu kamarnya.

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

Pukul sembilan, Qaila baru bangun dari tidurnya. Sepertinya dia memang kelelahan. Tadi di sekolah dia harus mengurus pemasukan dan pengeluaran kas OSIS bulan ini. Sore juga lanjut latihan basket untuk pertandingan minggu ini. Setelah cuci muka, Qaila turun kebawah.

Melangkahkan kaki memasuki dapur. Perutnya sudah lapar lagi.
"Sudah belajar?" Tanya mamanya yang sedang menyeduh minuman di meja makan.

"Belum.. " Jawab Qaila menatap mata perempuan yang melahirkan nya itu sebentar, lalu melanjutkan kesibukannya mencari menu makan malam yang seharusnya ada di lemari. Karena sepertinya orang tuanya sudah makan malam. Jadi lauk lebih akan di taruh di sana.

"Kami, tadi makan malam diluar" Ibunya ragu ragu membuka suara. Namun melihat Qaila yang tidak menemukan apa yang dicari akhirnya dia bersuara.

"Ouh" Qaila meninggalkan dapur. Dia akan memesan makanan online saja. Dan menunggu diluar. Angin malam ini terasa menyejukkan. Sepertinya sebentar lagi turun hujan.

"Bagaimana mau jadi orang hebat jika kerjaan mu hanya diam disini menatap langit" Suara papanya itu menghancurkan ketenangan Qaila yang tengah memandang tebaran bintang.

"Aku nunggu makanan ku datang" Qaila merespon seadanya.

"Cih, makan saja pikiran mu. Lihat adikmu sejak pulang makan malam tadi sudah duduk di kursi belajarnya"
"Pulang makan!, dan aku belum makan" Qaila menatap tak santai ke arah pria itu. Membuat yang di tatap merasa kesal.

"Seharusnya kau tidak dilahirkan di keluarga ini, jika kerjaan mu hanya ingin bermalas-malasan" Pak tua itu masih saja mengoceh tidak jelas di samping Qaila.

Sebuah motor berhenti di depan gerbang. Qaila segera berlari mendekat. Namun keduluan pak Mamat.

"Pesanan Qaila kang" Qaila mengeraskan suaranya, membuat pak Mamat balik badan ke arahnya.
"Oh iya Qai," Beliau kembali ke post satpam.
"Thank u a" Qaila menyerahkan beberapa lembar uang lima ribuan. Dan mengambil styrofoam yang dibungkus plastik dari kang ojek itu.

"Hanya membuang-buang uang taunya, lihat Karina. Selain pintar, hemat orangnya. Tau yang mana kebutuhan yang mana perlu di sampingkan" Kepala keluarga Andares itu kembali membuka mulutnya ketika Qaila mendekat.

"Makan ya kebutuhan, ga makan ya mati, mati ga bisa kejar-kejaran prestasi lagi" Jawab Qaila santai, melewati papa nya.

"Karina itu di contoh!, jangan mentang-mentang kamu terlahir kaya seenaknya menghamburkan kekayaan orang tua. "
Cukup!!, Qaila sudah tak tahan. Panas gendang telinganya lama lama.

"Bisa ga sih mulut papa itu berhenti ngoceh, ada aja yang dipermasalahin nya... " Qaila balik badan, berkacak pinggang menatap mata papa nya.

"Dikira seharian ini anak nya pergi dugem apa, pulang pulang capek. Tapi bawa uang hasil kerja. Qaila itu sekolah." Qaila menatap nyalang lawan bicaranya.

"Qaila juga ga mau makan uang orang tua, apalagi orang tuanya itu papa!"
Intonasinya semakin tinggi, membuat pria tua di depannya itu murka.

"Memalukan, makin dewasa makin melawan ucapan orang tua"

Plak
Plak
Plak

"Setiap orang tuanya ngomong, selalu dijawab. Kelakuan mu tidak mencerminkan seorang anggota keluarga Andares yang semestinya"
Wajah pria tua itu merah, dia paling tak suka yang keluar dari mulutnya di bantah. Siapapun yang membantah!

Rambutnya ditarik kuat, pria tua itu menyeretnya kasar. Kedua kaki Qaila jadi tak bisa melangkah dengan benar dibuatnya.

Nyonya Andares hanya menatap apa yang dilakukan suaminya dari lantai atas. Tak berani ikut campur. Termasuk Putra bungsu keluarga itu, hanya mampu menatap datar pemandangan di depannya.ingin menolong, namun ia tak punya rasa simpati pada manusia manapun.

𝐕𝐨𝐭𝐞 𝐧𝐲𝐚 𝐝𝐨𝐧𝐠 𝐤𝐚𝐤𝐚𝐤, 𝐣𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐜𝐮𝐦𝐚 𝐝𝐢𝐛𝐚𝐜𝐚. 𝐌𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫𝐢 𝐯𝐨𝐭𝐞 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐤𝐚𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐦𝐢𝐬𝐤𝐢𝐧 𝐭𝐮𝐣𝐮𝐡 𝐭𝐮𝐫𝐮𝐧𝐚𝐧.

Titik LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang