I Can't!

33 14 37
                                    

~ Apa yang tidak aku bisa, jangan paksa aku agar bisa! ~

Niat hati ingin belok ke markas, namun satu panggilan masuk menggagalkan rencananya. Dengan dongkol Qaila melajukan motor sport nya kembali ke rumah.

Padahal ini baru jam 5 sore, harusnya dua jam kedepan baru ia sampai dirumah. Tapi karena ancaman kartu kredit nya yang akan disita, gadis tomboy itu mau tak mau segera pulang.

"Kenapa sih pa? , tumben banget nyuruh pulang jam segini. " Suara Qaila menggema saat gadis itu memasuki rumah.Membuat pria tua yang tadinya di ruang kerja mendekat.

"Harusnya memang pulang jam segini!. Anak perempuan pulang sekolah malam,mau jadi bibit lonte kamu?!" Suara bariton itu bukan hanya menerobos masuk ke dalam telinga, tapi juga menusuk dada.

"Woilah santai dong pak, gini-gini masih perawan ni gue" Qaila menjatuhkan bokongnya ke salah satu sofa.

"Ubah gaya bahasa mu!, bukan tentang dimana kita berada. Tapi soal dengan siapa kamu bicara. " Mata Petro melotot tajam ke arah Qaila.

"Cari ribut lagi deh, cepet apa yang mau di bicarain itu?, Qai mau mandi ini. " tanpa merasa malu, Qaila mencium  seragam  bagian keteknya.

"Ada event cipta puisi nasional. Dan Raya ikut lomba itu. Papa mau kamu daftar juga!" Ucap Petro to the point.

Qaila sontak menegakkan tubuhnya kembali, apa-apaan orang tua itu. Hanya karena anak teman bisnisnya ikut dia juga harus ikut?.

"Ngga, Qai ga bisa kalo nulis nulis begitu" ia mengibaskan tangannya, tanda menolak.

"Kamu itu pintar, gunakan otak kamu buat berimajinasi!" Petro ikut bangkit dari duduknya.

"Semua gue sanggupin, asal jangan nulis. Selain merepotkan itu juga membosankan. " Qaila menatap papanya dengan tatapan sinis.

"Dasarnya pemalas, cuma nulis. Keluarkan apa yang kamu pikirkan"
Petro mencibir, bermaksud memancing Qaila.

"Ga bisa pa, kalo nulis aku nggak bisa. Imajinasi ku ga seluas itu. " Qaila mencoba memberi pengertian.

"Papa akan memanggilkan guru sastra terbaik, yang bisa mengajari mu menciptakan puisi yang baik" Pria itu pergi, berlalu dari hadapan Qaila.

"I can't! " Qaila berjalan cepat mengikuti papanya.

"Jika orang bisa, artinya kau juga harus bisa!" Petro terus berjalan tanpa mempedulikan anak gadisnya yang mengekor dibelakangnya.

"Sesuatu yang baik itu harus dipaksa, tapi kalo dipaksa aku yang ga baik-baik aja pa. " Qaila menghentikan langkahnya. Membuat Petro ikut berhenti.

"Kamu  tidak dilahirkan lemah Qaila, keluarga kita terlahir kuat! " Pak tua itu membalikkan badannya untuk menatap Qaila. Tatapannya seperti saat ingin menerkam mangsa.

"Kalo nulis Qai ga bisa pa, aku ga bakat. Ga puitis orangnya. Otak ku buntu, kalo disuruh mikir hal hal yang ngga harusnya dipikirkan" Qaila menghentak hentakkan kakinya.

Ingin rasanya dia mencakar cakar wajah pak tua itu. Tapi tak lucu jika dipikir lagi, bisa-bisa viral di TV  anak keluarga mereka seekor siluman jadi-jadian. Yang mencakar ayah kandungnya sendiri.

"Teman bisnis papa itu nyuruh kamu ikutan juga. Dia pengen tau kemampuan kamu " Petro sedikit merendahkan suaranya.

"Iya dia pengen tahu, dia juga pengen bandingin. Antara aku sama anaknya lebih hebat siapa " Qaila maju satu langkah, agar tepat berbicara di depan wajah papanya.

"Makanya kamu harus buktiin kalau kamu lebih hebat dari dia!" Petro balas teriak.

"Kalo aku lebih unggul dibanding dia namaku bakal papa sebut-sebut terus kan di ruang pertemuan kalian itu. Tapi kalau aku kalah papa seenaknya aniaya aku, ngurung aku. " Nafas Qaila tersenggal senggal. Tangannya mengepal mengumpulkan emosinya.

"Apalagi yang harus di perlihatkan jika kau gagal ha?, lebih baik kau dikurung. Supaya kau bisa mikir!, kenapa kau gagal. Cari dimana letak kelemahan lawan mu. Kedepannya kau bisa lebih baik dari  itu. "

Plak

Kali ini bukan Petro yang melayangkan tampar panas di pipi Qaila.

"Ican't!,What I can't do, don't force me to do it!"

"Gue bukan multitalent, yang bisa semua..., "

"Salah satu manusia yang punya kekurangan itu gue!" Teriakan Qaila menggelegar di dalam rumah.

Mereka beradu tatap, sampai Qaila duluan yang memutuskan kontak mata. Lalu pergi meninggalkan pak tua yang berdiri kaku di tempat ia berdiri.

𝐕𝐨𝐭𝐞 𝐧𝐲𝐚 𝐝𝐨𝐧𝐠 𝐤𝐚𝐤𝐚𝐤, 𝐣𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐜𝐮𝐦𝐚 𝐝𝐢𝐛𝐚𝐜𝐚. 𝐌𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫𝐢 𝐯𝐨𝐭𝐞 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐤𝐚𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐦𝐢𝐬𝐤𝐢𝐧 𝐭𝐮𝐣𝐮𝐡 𝐭𝐮𝐫𝐮𝐧𝐚𝐧.

Titik LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang