1. sinbad

63 4 0
                                    

"Kami akan pergi. Bagaimana denganmu (name)?"

Pertanyaan itu meluncur dari mulut Sinbad.

Aku menatapnya sejenak sebelum menjawab, "......Apa aku harus ikut?"

"Kenapa malah balik bertanya!?" Sinbad mendesah kesal. "Mau ikut atau nggak, itu terserah padamu. Jadi?"

Matanya menatapku, ekspresinya tampak santai seperti biasa, tapi intonasi suaranya jelas menunjukkan kalau dia sedang tidak sabar. Padahal, biasanya dia selalu tersenyum seperti orang bodoh kalau berhadapan dengan perempuan cantik. Tapi anehnya, dia tidak pernah begitu denganku.

Aku mengalihkan pandangan ke tiga orang yang berdiri di depanku. "Aku akan berjaga di sini. Kalian bertiga saja yang pergi."

Hinahoho, pria paling tinggi di antara kami, mengangguk kecil sebelum melangkah menuju pintu. "Kalau begitu, tolong jaga tempat ini dengan baik."

Sinbad dan Jafar menyusulnya.

"Jangan lupa bawakan aku oleh-oleh... hehehe." Aku berseru santai, tepat saat mereka hendak pergi.

Jafar tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arahku.

'Wah, dia menatapku tajam...'

"Jangan lupa untuk membereskan semua ruangan yang ada di sini." Suaranya terdengar dingin, memberikan penekanan yang sangat jelas pada kata terakhirnya sebelum akhirnya berjalan pergi, menutup pintu di belakangnya.

Aku mendesah panjang. "Huh, Jafar benar-benar menyeramkan kalau sedang marah. Padahal dia yang paling muda di sini, tapi entah kenapa aku malah takut padanya... huh."

Aku menatap ruangan yang berantakan dan kembali menghela napas. Sudah hampir tiga tahun aku bersama mereka, tapi aku masih belum terbiasa dengan sifat mereka yang berubah-ubah seperti perempuan. Padahal, di sini yang perempuan itu aku.

Akhirnya, aku mulai mengerjakan tugas yang diberikan Jafar.

"Haaah... akhirnya selesai juga."

Butuh dua jam penuh untuk merapikan semua ruangan. Aku mengusap keningku yang sedikit berkeringat dan duduk di kursi dengan lelah. "Kalau tahu begini, tadi aku ikut saja dengan mereka."

Aku menatap kamar mereka yang tadi berantakan. "Dan bisa-bisanya mereka meninggalkan kamar dalam keadaan seperti ini. Kalau Rurumu ada di sini, mereka pasti sudah kena marah habis-habisan! Hahaha..." Aku tertawa kecil, membayangkan wajah-wajah mereka saat harus mendengar omelan panjang dari Rurumu. 'Akan aku adukan mereka nanti. Hehehe.'

Setelah semua beres, aku berniat tidur sampai mereka kembali. Tapi sebelum sempat berbaring, suara ketukan di pintu mengganggu rencana tidur cantikku.

Aku bangkit dengan malas dan membuka pintu.

Seorang pria paruh baya berdiri di hadapanku. Dari pakaiannya yang berdebu dan wajahnya yang letih, sepertinya dia telah melakukan perjalanan jauh untuk sampai ke tempat ini.

Aku mempersilakannya masuk dan menyuguhkan secangkir teh hangat serta beberapa camilan. Camilan milik Jafar, tepatnya. Tapi karena tinggal sedikit, aku berjanji dalam hati akan menggantinya nanti. 'Maaf, Jafar...'

Aku duduk di hadapannya dan bertanya, "Ada yang bisa kubantu?"

Sejak tadi dia hanya memperhatikan sekeliling tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Tatapannya akhirnya beralih padaku. Ada keraguan yang begitu jelas terpancar dari matanya.

Setelah beberapa saat, dengan suara ragu, dia akhirnya berbicara. "Apakah benar tempat ini adalah tempat untuk menyewa seorang Bouken-san (petualang)?"

Aku tersenyum tipis, menanggapi pertanyaannya dengan santai. "Benar sekali. Jadi, masalah apa yang ingin kau sampaikan padaku?"

Dia terdiam sejenak, lalu mengembuskan napas panjang sebelum menjawab.

"Kemunculan dungeon baru... telah menimbulkan banyak masalah bagi kami."

Matanya yang tadi dipenuhi keraguan kini terlihat jelas dihantui oleh ketakutan.

Aku menatapnya dengan serius. Kata-katanya barusan sudah cukup membuatku sadar bahwa ini bukan masalah sepele.

Dungeon baru?

Sebuah senyum tipis terukir di wajahku.

"Menarik."

Aku bangkit dari kursi dan mengambil sarung tangan serta mantelku.

"Kalau begitu, ceritakan semuanya secara detail."

Suara kayu dari kursi yang bergeser memenuhi ruangan, sementara pria itu masih menatapku dengan mata penuh harapan dan kecemasan.

Di luar, angin berhembus lebih kencang, seolah membawa firasat bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi.

-END-

A Star In ProgressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang