038

5.3K 438 32
                                    

Arson yang hampir tertidur di kursi samping ranjang harus terbangun karena mendengar suara tangisan Devon yang menggema di ruangan.

Devon secara mendadak terbangun dari tidurnya dengan teriakan yang cukup mengejutkan dan langsung menangis kencang. Tubuh kecilnya gemetar hebat di bawah selimut rumah sakit yang tipis dan keringat mengalir dari pelipisnya. Dengan suara yang putus-putus, dia terus meracau tidak jelas, seolah-olah tenggelam dalam mimpi buruk yang sangat menakutkan.

"T—takut... A—yah.... n—nanti kesini," Devon terisak dengan air mata yang mengalir deras dari matanya.

Arson kebingungan melihat kondisi Devon yang ketakutan. Perasaan bingung, sedih, dan marah bercampur jadi satu dalam hatinya yang terasa seperti teriris setiap kali Devon menangis.

Arson segera mendekat, membawa tubuh Devon yang bergetar ke dalam pelukan erat untuk mencoba menenangkan. "Devon, tenang ya! Ayah lo gak akan datang ke sini. Kan ini gua jagain," katanya dengan suara lembut, meskipun hatinya juga merasa khawatir.

Namun, bujukan sepele begitu saja belum cukup untuk membuat Devon berhenti menangis. "Itu... Itu pintunya dikunci aja... T—tutup semua" katanya panik.

Meski Arson tidak mengerti dengan ketakutan yang Devon rasakan, tapi dia tetap mengangguk cepat. "Iya, udah dikunci. Semuanya udah dikunci kok. Udah ya jangan nangis lagi" Arson mengusap punggung Devon dengan gerakan lembut, mencoba memberikan rasa aman.

Perlahan-lahan Devon mulai sedikit tenang, meskipun airmatanya masih mengalir dan tubuh yang masih gemetar. "Dikunci b—bener?" tanyanya dengan suara kecil dan penuh kekhawatiran.

Arson menatap mata Devon, kemudian menangguk. "Iya udah dikunci. Lo tenang aja ya," katanya lagi, berharap bisa menenangkan hati Devon yang ketakutan.

Devon mengangguk pelan, dengan mata yang masih memancarkan rasa takut.

Arson terus memeluknya erat, tangannya juga tidak berhenti mengelus surai lembut milik Devon. "Berenti ya nangisnya?  Tidur lagi" katanya membujuk.

Devon menggeleng ribut, segera matanya mengedar ke penjuru ruangan seolah tengah waspada. "K—kalo tidur... nanti a—ayah dateng..."

"Enggak. Gua janji dia gak akan dateng, gua jagain. Udah ya jangan nangis terus" Arson menghapus airmata yang masih keluar dari sudut mata Devon dengan ibu jarinya. "Gimana kalau kita main game kucing aja? Gua tadi baru instal nih, game kucing," kata Arson, mencoba mengalihkan perhatian Devon yang masih terlihat cemas.

Arson merogoh sakunya dan mengambil ponsel. "Liat nih gua punya kucing di hp" katanya. Dia kemudian menunjukkan permainan kucing yang bisa diurus dengan memberi makan, memandikan, dan akan mengikuti hal yang dibicarakan oleh pemainnya.

"Apa?" cicit Devon penasaran. Dia mengintip pada ponsel yang Arson pegang, matanya sedikit berbinar dengan ketertarikan.

"Kucingnya ini namanya Angela. Lo bisa kasih dia makan kaya gini. Nih lo ajak main ya kucingnya." Arson menyodorkan ponsel miliknya agar Devon bisa memegangnya

Devon memegang ponsel itu, terlihat kesulitan menggunakan benda kotak tersebut karena tangannya yang gemetar. Matanya juga bergetar linglung menatap layar yang sedang menunjukan animasi seekor kucing putih.

Arson melihat kebingungan di wajah Devon. Dia mendekatkan diri ke ponsel dan bicara, "Halo, Devon. Ayo main sama aku." Kucing virtual di layar kemudian mengikuti dengan mengatakan hal yang sama, membuat suara kecil yang serupa dengan suara Arson.

Mata Devon membulat terkejut, beralih menatap Arson tidak percaya. "D—dia ajak main?" tanyanya pelan, matanya berbinar dengan kilatan airmata.

Arson tersenyum lebar. "Iya, main ya sama dia."

"Gapapa?" Devon bertanya ragu, masih sedikit enggan dan takut untuk melakukannya.

"Gapapa, Devon. Lo boleh main. Nih, coba ajak main lagi kucingnya," kata Arson sambil menepuk pelan kepala Devon.

Setelah menatap Arson lama, Devon akhirnya mengangguk pelan dan mulai bermain dengan game kucing yang Arson berikan. Meskipun terkadang Devon kesulitan karena salah pencet atau tidak mengerti apa yang harus dilakukan selanjutnya, Arson selalu sigap membantunya.

"Kalau lo pencet ini, dia bakal pipis," kata Arson sambil menunjukkan tombol yang harus ditekan.

Devon mencoba menekan tombol itu dan melihat kucing di layar mulai buang air. Dia tertawa kecil, sesuatu yang sudah lama tidak didengar Arson. "Lucu ya," katanya dengan suara pelan, tapi terdengar lebih hidup.

Arson ikut tersenyum, merasa lega melihat cowok kecil itu mulai sedikit terhibur. "Iya, lucu kan? Lo bisa bikin dia mandi juga," ujarnya sambil terus mendampingi Devon.

Devon asyik bermain game kucing di ponsel Arson. Matanya kini sangat fokus menatap pada layar, jarinya dengan hati-hati menyentuh berbagai ikon untuk bermain dengan kucing virtual yang lucu itu. Sesekali, Devon tersenyum kecil melihat reaksi yang dilakukan kucing tersebut.

Namun, tiba-tiba layar ponsel berubah, membuat Devon mengernyit kebingungan. "Arson...kucingnya ilang," Devon mengadu sambil menyodorkan ponsel kepada Arson.

Arson melihat ponselnya, kemudian tertawa kecil ketika tau bahwa ada notifikasi panggilan masuk dengan nama Vico yang tertera di layar. "Itu ada telpon. Pinjem sebentar ya" katanya mengambil hp itu dari tangan Devon.

"Halo, Co?" sapa Arson ketika sudah menerima panggilan itu.

"Arson, bang Fino bilang Devon masuk rumah sakit? Sakit apa?" tanya Vico dari seberang sana.

Arson menghelas napasnya. Berpikir bahwa dia tidak bisa mengatakan banyak hal pada Vico. "Telat makan aja, biasa asam lambungnya kambuh" katanya sebagai jawaban.

"Aku bawain makanan kesitu ya? Kemaren Devon suka banget pas aku masakin. Ini kamu di rumah sakit mana?"

"Lo kalo mau kesini ajak bang Fino, dia tau kok rumah sakitnya. Jangan ajak anak Sinister yang lain!" Arson memberi peringatan.

"Yaudah ya, nanti habis pulang sekolah aku kesitu bareng bang Fino. Bilang Devon cepet sembuh gitu"

Setelah panggilan dengan Vico berakhir, Arson ingin kembali menyerahkan ponselnya pada Devon. Namun, niatnya urung ketika melihat cowok kecil itu sudah terlelap dalam tidurnya. Devon berbaring dengan tenang di tempat tidur rumah sakit, napasnya teratur dan wajahnya tampak damai. Arson merasa lega melihatnya bisa tidur dengan tenang setelah semua ketakutan dan kecemasan yang dirasakannya tadi.

Arson berjalan mendekat dengan langkah hati-hati, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan. Dia duduk di tepi ranjang, mengamati wajah Devon yang terlihat begitu polos dan manis dalam tidurnya. Di bawah cahaya lampu rumah sakit, Arson bisa melihat dengan jelas bekas luka dan memar yang masih tertinggal di wajah dan tubuh cowok kecil itu. Hatinya terasa berat memikirkan apa yang telah Devon lalui sampai memiliki kecemasan separah ini.

Sedih rasanya melihat mata bulat Devon yang sebelumnya memancarkan binar lucu yang membuat Arson jatuh hati, kini tampak begitu kosong. Sekarang, hanya terdapat ketakutan dalam tatapannya.

Arson menghela napas panjang, menahan perasaan marah yang mulai muncul dalam hatinya. Ingin sekali dia marah pada orang yang sudah merenggut senyum bahagia yang Devon miliki. Semakin dia memikirkan itu, semakin dia yakin bahwa ini semua mengarah pada satu orang. Yaitu, ayah dari cowok kecil itu yang selalu saja Devon sebut dengan rasa takut.

Arson menundukkan diri, mengambil napas dalam-dalam dan perlahan bergerak mencium kening Devon cukup lama. Setelahnya Arson menarik selimut untuk menutupi tubuh kecil itu, memastikannya merasa hangat dan nyaman.

"Tidur yang nyenyak ya" bisiknya di telinga Devon.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang