Bapak sudah pernah bilang kalo dalam suatu masalah jangan cuma lihat dari satu sisi
...
Hanafi membanting pintu mobilnya sedetik setelah ia masuk. Wajahnya ia tenggelamkan di tangan yang bertumpu setir. Tidak ada gerakan apapun selama beberapa menit, hingga akhirnya terdengar suara isakan tertahan darinya.Hanafi menyesali perbuatannya tadi, sejak kapan ia menjadi pria kasar yang tidak bisa mengontrol emosi. Apakah ia masih pantas disebut kepala keluarga. Dirinya saat ini tidak lebih dari seorang remaja 17 tahun yang punya emosi menggebu. Bahkan jika dibandingkan dengan anak sulungnya, mungkin Hanafi akan kalah.
Lama kelamaan isakannya bertambah semakin keras, memenuhi ruang mobilnya yang kosong. Hanafi masih menangis dan terus menangis, kepala nya penuh dengan suara bentakan yang tadi ia buat sendiri.
"Ya Allah... Kenapa bisa begini??" Tanya nya lirih, penuh penyesalan dalam setiap untaian katanya.
Hanafi merasa gagal, segagal gagalnya. Baik sebagai suami maupun Bapak untuk anak anaknya. Hanafi tau, tadi Hanafi yakin bahwa anak anak nya melihat dan mendengar pertengkaran antara dia dan istrinya. Rasanya ia seolah tertampar kata kata nya sendiri. Seperti kata Arka tadi malam. Hanafi pernah bilang bahwa masalah Bapak dan Ibu hanya ada di balik pintu kamar saja. Anak anak tidak boleh tau, dan tidak diperkenankan ikut campur. Sebenarnya Hanafi cukup memaklumi si sulung yang terus menerus membela sang Ibu. Hanafi paham, sebagai anak pertama laki laki, Arka akan berusaha membangun pondasi keluarganya lagi dan juga menjaga Ibu nya. Hanafi tidak pernah merasa semarah ini, sekesal ini sebelumnya. Tapi jika diingat lagi, saat Arka dengan entengnya menyalahkan, rasa kesal itu muncul lagi.
Hanafi tidak pernah ingin mempunyai rasa kesal pada anak anaknya. Namun keadaan saat ini seolah membuat kerenggangan di antara mereka. Hanafi yakin, setelah ini Arka pasti akan membencinya.
Gelar Bapak terbaik miliknya mungkin sebentar lagi akan ia hancurkan sendiri.
Sebelum Hanafi menjalankan mobilnya, ia sempat menoleh sebentar ke arah rumah. Belum ada tanda tanda Arka akan keluar. Mengingat pemuda itu, Hanafi yakin bahwa ia pasti sangat mengecek Arka.
Tetapi detik itu, Hanafi masih belum ingin terlalu larut dalam pertengkaran mereka. Ia masih ingin mengambil waktu sendiri untuk berpikir jernih dan menstabilisasi emosinya. Hanafi berjanji pada dirinya sendiri semoga hal ini tidak akan pernah terjadi lagi.
Hanafi melihat jam yang tertera di lockscreen ponselnya. Pukul 08:45, ia sudah sangat terlambat. Maka tanpa ba bi bu be bo lagi, Ia segera menancap gas menuju kantor tempatnya bekerja.
Sesampainya disana, ia langsung disambut oleh berbagai rentetan agenda hari ini yang tengah di bacakan Sekretaris nya. Agak menyebalkan memang, disaat hati dan otaknya sedang gundah karena masalah di rumah, namun ketika di kantor ia harus tetap profesional. Akhirnya pun ia mengikuti semua yang diucapkan Radit. Mulai dari meeting dengan divisi media, pemasaran, sampai pertemuan dengan kolega. Tidak hanya itu, Hanafi dan Radit juga harus mensurvei beberapa tempat yang akan dijadikan ladang usaha untuk perusahaan mereka.
Berbeda jauh dengan Arina yang saat ini masih terdiam di balkon kamarnya. Kepalanya menengadah ke atas, menikmati panas yang dihasilkan oleh sinar matahari siang itu. Arina baru saja selesai dengan berbagai pekerjaan rumahnya, memang tidak sendiri, rumahnya juga tidak bisa di bilang besar, tapi karena tubuhnya sedang tidak fit, bantuan yang Mbak Arni berikan seolah tidak ada apa apanya. Arina tetap saja lelah.
Setelah menemani anak anaknya sarapan, Arina tidak bisa mengantarkan anak bungsunya untuk ke sekolah, jadi pagi tadi Bintang diantar oleh Mas nya naik sepeda motor. Baru siang nanti, akan Arina jemput sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Kecil Itu ✔
General FictionDulu, dulu sekali Hanafi bermimpi memiliki rumah kecil yang akan ia jadikan tempat berlabuh, tempat merajut kasih bersama keluarga kecilnya kelak. Namun Tuhan justru memberinya hal lain, sesuatu yang akan membawanya pada arti Rumah sesungguhnya. Bu...