"Jadi, mau pisah saja?"Seorang perempuan yang tengah berbicara dengan seorang lelaki itu meremas erat rok yang ia kenakan. Kalimat yang baru saja ia keluarkan begitu mencekat tenggorokannya.
"Maaf, Kinan. Aku tidak tahu harus berbuat apa."
Perempuan yang dipanggil Kinan itu tersenyum kecut. Ia sudah menebak jawaban yang ia akan dengar. Walaupun beberapa detik sebelumnya, ia sempat berharap akan mendengar jawaban lain.
"Memang dari awal masalahnya ada di kamu, Arya. Bukan ibu mu, apalagi soal jarak, kan?"
Arya yang sedari tadi menunduk akhirnya mendongak, mendapati perempuan di depannya yang sedang menatapnya marah. "Bukan, bukan seperti yang kamu pikirkan, Kinan."
Arya berusaha meraih tangan Kinan yang bertengger di atas meja. Namun tanpa butuh waktu lama, Kinan menolak.
"Maaf, tapi aku tidak bisa melanjutkan apapun." Pungkas Arya sambil menatap Kinan penuh penyesalan.
Kinan tertawa pelan, lalu meraih tasnya dan berdiri. "Dasar, pecundang!" Hardiknya pada Arya masih duduk diam.
Kinan melepas cicin dari jari manisnya. Ia sempat tersenyum getir menatap benda itu sebelum meletakkannya di atas meja, tepat di depan Arya.
"Semoga ada perempuan yang mengerti mau ibu dan saudaramu," kata Kinan saat Arya mendongak menatapnya. "Oh, atau mungkin kamu memang ditakdirkan jadi milik mereka seumur hidup. Jadi, perempuan sebaik apapun tak mampu memilikimu."
Kinan melenggang begitu saja. Melewati Arya yang masih tak berkutik dalam duduknya. Baginya, mempertahankan laki-laki seperti Arya memang tidak ada gunanya. Setelah sempat menahan dan berusaha selama tiga tahun pun, ternyata tak ada hasilnya. Benar-benar tidak berguna.
Hubungan mereka berdua memang sudah diterpa banyak masalah sejak awal. Soal long distance relationship, restu orangtua Arya, pekerjaan mereka berdua, dan banyak yang lainnya. Namun kala itu keduanya masih yakin aku mendapatkan akhir yang bahagia. Walaupun nyatanya itu hanya angan-angan yang tak menemukan jawab.
Sehari dua hari, Kinan terlihat biasa saja. Ia menanamkan pada dirinya sendiri bahwa kehilangan laki-laki seperti Arya bukan hal besar. Tapi pada kenyataannya, ternyata keyakinan pada dirinya sendiri tertolak oleh nuraninya. Ia masih sangat menyesalkan hubungan itu kandas begitu saja.
Sebulan dua bulan, Kinan semakin tersiksa. Entah apa yang terjadi, tapi semakin hari rindu itu meluap. Mengisi relung-relung hati Kinan yang begitu kosong akhir-akhir ini. Tak banyak yang bisa ia lakukan selain menangis semalaman dan bangun dengan kedua mata yang sembab.
"Kacamatamu tidak mengganggu?"
Kinan menggeleng menjawab pertanyaan Martha, teman akrab Kinan sejak duduk di bangku kuliah. Martha tertawa kecil melihat kelakuan sahabatnya itu, "memang kacamata itu bisa menutupi kamu yang belum bisa move on?"
"Bisa diam tidak?" cerca Kinan pada Martha, dan malah membuat Martha mengeraskan suara tawanya.
Martha menarik kacamata hitam Kinan turun dari matanya, "sudah lah, orang juga akan mengerti kenapa matamu seperti itu. Gagal menikah padahal sudah lamaran, itu alasan yang cukup."
Kinan mendengus, ia akhirnya menarik kacamata itu lepas dan meletakkannya di meja. Seketika pandangannya jadi lebih terang. Ia dapat melihat lampu-lampu kafe dan seisi ruangan.
"Kamu mau aku kenalin ke teman Tama?" Martha membuka ponselnya, tanganya dengan lihai membuka aplikasi instagram dan mengetikkan satu nama disana. Lalu menunjukkan pada Kinan.
"Tampan, kan?"
Kinan yang tengah melahap roti bakar nutella kesukaannya itu melirik malas. Ini sudah pria ketiga yang Martha ingin kenalkan. Masalahnya semua adalah anggota TNI karena memang dari ketiganya merupakan teman Tama, kekasih Martha. Sedangkan Kinan sangat enggan berhubungan dengan laki-laki yang bekerja penuh resiko dan akan sering meninggalkannya, seperti tentara-tentara itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Tjoe! || Nathan
Fanfiction"Hey, Tjoe!" Sebuah panggilan yang manis. ______________________________________________ Ib: Nathan Tjoe A On 🤍