11

830 79 6
                                    


a few days ago—

Beberapa hari sebelumnya, tepatnya sehari setelah pertandingan dengan Jordan, Nathan harus bertolak ke Belanda. Kembali ke club- nya karena izin yang diberikan untuk membela timnas sudah berakhir.

Nathan menghela napasnya kasar ke udara. Matanya sedari tadi menyisir seluruh bandara yang banyak lalu lalang orang. Pandangannya mencari sosok yang sedang ingin ia lihat terakhir kali sebelum meninggalkan Doha.

Gerak-gerik Nathan saat itu terlihat jelas sedang gusar. Ia mengecek beberapa kali ponselnya yang hening tanpa ada dering notifikasi apapun.

"Kenapa?"

Romeo yang baru saja kembali dari membeli makanan pun kebingungan melihat tingkah anaknya itu. Sedari ia berjalan mendekat tadi, Romeo bisa lihat jika Nathan tampak mencari keberadaan seseorang.

Nathan menggeleng kecil di bangkunya. Ia menerima satu buah burger yang dibawakan Romeo.

"Menunggu seseorang?" tanya pria paruh baya itu, "siapa?"

"Bukan siapa-siapa," jawab Nathan sebelum menggigit burgernya.

Nathan terdiam cukup lama. Ia menikmati makanannya dengan tenang dan tak bicara apapun pun. Lalu ia menoleh pada ayahnya yang tengah sibuk bermain ponsel.

"Ayah kenapa menikah dengan ibu?"

Kening Romeo mengerut. Matanya menelisik jauh ke dalam netra Nathan.

"Tiba-tiba?"

Nathan mengedikkan bahunya, lalu menggigit lagi burger- nya yang tinggal setengah.

"Lupakan," ucap Nathan setelahnya.

"Tentu karena Ayah suka pada Ibumu dan sebaliknya."

Nathan hanya menyunggingkan senyum.

"Ada gadis yang mengganggu pikiranmu?"

Belum Nathan menjawab, Romeo sudah buru-buru menebak.

"Giulia?"

Nathan menggeleng cepat mendengar nama yang disebut ayahnya.

"Dokter Kinan?"

Nathan hampir tersedak saat ayahnya itu menyebut nama Kinan. Sejujurnya ia terlalu takut untuk menceritakan soal ia dan Kinan. Tentu saja karena latar belakang keyakinan mereka yang berbeda.

Nathan selalu berkaca dari Romeo soal beribadah. Bagaimana cara Romeo mendidik Nathan sedari kecil dan menanamkan iman pada dirinya, membuat Nathan tak sampai hati jika harus menyampaikan rasa sukanya terhadap gadis yang tak seiman dengannya.

"Salahku, harusnya aku tidak bertindak lebih jauh, ayah."

Romeo mengusap pelan rambut Nathan.

"Tolong jangan salahkan Kinan, aku yang memaksa untuk terus maju."

Romeo diam, ia hanya ingin mendengar apa yang sedang Nathan rasakan untuk saat ini. Mau bagaimanapun tidak ada yang salah. Ia paham betul perasaan anak bungsunya yang sedang bingung soal persoalan asmara.

Dengan sedikit keberanian, Nathan akhirnya bercerita lebih jauh.

"Kami tahu semuanya sulit. Meski Kinan selalu bilang tidak ada jalan, aku tahu perasaanya sama dengan perasaanku."

"Jadi, kamu ditolak?" tanya Romeo menggoda.

Nathan mengangguk, "sudah tiga kali."

Romeo terkekeh melihat bagaimana raut wajah Nathan yang begitu sedih. Ia tidak tahu jika anaknya bisa sekacau ini hanya karena urusan perempuan. Sepertinya baru beberapa waktu lalu sejak anak bungsunya ini terlihat murung hanya karena sepatu bolanya yang sudah usang tidak segera diganti baru.

Hey, Tjoe! || NathanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang