"Kenapa jika ada pertemuan orangtua, selalu papa yang datang?!" marah Akira tak jelas. Disepanjang perjalanan gadis itu merengek-rengek tak jelas hanya karena ayahnya yang mengambil rapot untuknya.
"Lalu mau siapa lagi jika bukan papa yang datang? Adik-mu yang masih SD itu suruh mengambil rapot mu begitu?" Anthony sungguh-sungguh bingung dengan putri sulungnya ini. Ya, memang setiap tahun hanya Anthony lah yang mengambil rapot untuk putri-putrinya, dan memangnya harus siapa lagi? Peran Anthony disini menjadi ayah sekaligus ibu untuk anak-anaknya.
Akira menangis tersedu-sedu. "Aku ingin mama yang mengambilnya untuk-ku! Aku malu! Kenapa selalu papa yang datang! Orang lain datangnya dengan mama-nya! Tapi aku tak pernah!" rengeknya lagi yang menjadi-jadi.
Anthony menatap putrinya dengan tatapan sedu. Sejujurnya ia tak tahu harus bagaimana jika seperti ini. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Ibu kandung Akira telah lama tiada. Jujur Anthony sangat sedih jika anaknya mulai seperti ini.
"Mama-mu sudah tak ada di-dunia ini. Kau mau suruh mama mu mengambil rapotmu yang nilainya pas-pasan? Masa? Apa kau tak malu dengan mama mu? Masa disuruh datang jauh-jauh hanya untuk melihat nilai jelekmu." Anthony berusaha untuk tetap tegar––ia tak mau kelihatan sedih di depan anak-anaknya.
Akira menangis semakin menjadi-jadi. Gadis itu kini memeluk ayahnya. "Maafkan aku papa..."
Anthony membalas pelukannya dan segera menghapus air matanya yang mulai mengalir. Sejujurnya ia pun sangat rindu pada mendiang istrinya, hanya ia berpura-pura tegar dan tenang demi putri-putrinya yang masih kecil-kecil.
Anthony melepaskan pelukan dan dengan riang ia berkata, "Ayo kita jemput adik-mu. Kita lihat nilainya lebih jelek siapa, kau apa Ayana, haha..."
"Jelas Ayana yang nilainya lebih jelek!" timpal Akira yang tak mau kalah.
Anthony mengacak-acak rambut putrinya gemas. "Let's go! Sappy go!" katanya sebelum menjalankan mobilnya. Akira hanya tertawa melihat tingkah ayahnya.
Sedangkan disisi lain ada seorang anak laki-laki yang marah-marah tak jelas kepada ibundanya. "Kenapa lagi kau?" Bella menggelengkan kepalanya terheran-heran melihat tingkah putranya yang tiba-tiba badmood setelah mengambil rapot, padahal anak itu ranking satu di kelasnya.
"Aku selalu ranking satu!" keluh Arthur––putranya Bella.
"Ya bagus sayang, mama bangga padamu! Sungguh!" Bella mengelus-elus rambut putranya dengan bangga.
Bukannya senang––Arthur tiba-tiba menangis. "Kenapa ayah tak pernah melihatku membawa piala? Aku ingin ayah melihat aku menjadi juara..." rengeknya sembari menahan tangisnya dengan suaranya yang sesegukan.
Mata Bella langsung berkaca-kaca. "Ayah selalu melihat mu diatas sana sayang, dia selalu bangga ketika melihat mu menjadi juara..." Bella menghapus air mata putranya sambil menahan air matanya sendiri.
"...dan dia akan sedih jika melihat kau menangis seperti ini hanya karena alasan itu. Kau mau ayahmu bersedih diatas sana?"
Arthur menggelengkan kepalanya. "Tidak..."
"Makanya jangan menangis seperti ini ya? Lebih baik doakan ayahmu agar tenang disana."
Arthur mengangguk dan memeluk ibunya dengan erat. "Terimakasih mama, selalu ada untuk-ku."
"Sama-sama..."
.
.
.
.
.Liburan anak-anak pun telah tiba. Disekolah mengadakan acara study tour ke Bali dan para orangtua diwajibkan ikut untuk menemani anak-anaknya.
Akira menatap orang-orang disini. Mereka semuanya membawa pasukan yang lengkap––ada ayah, ibu dan anak. Sedangkan dirinya hanya membawa ayah dan adiknya yang menyebalkan itu. Wajah cemberutnya itu kembali muncul dan iri melihat anak-anak yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Brother
RandomArthur selalu menjadi penggemar beratnya Akira selama masa di sekolah. Gadis itu pemberani, galak dan menggemaskan--ia selalu mempunyai ide cemerlang di otaknya yang membuat Arthur sangat-sangat menyukainya. Namun pemuda itu tak pernah berani menyat...