03 | Dekat = Berbahaya

29 6 37
                                    

"APA?!" Advait ternganga lebar setelah mendengar cerita dari sepupunya yang bernama Arthur.

"Jadi kau ditabrak oleh Akira?!" Advait masih membuka mulutnya lebar––sedangkan telapak tangan kanannya menutupi mulutnya agar tidak ada yang masuk ke dalamnya.

Arthur mengangguk-anggukkan kepalanya yang entah harus berekspresi seperti apa? Senang atau sedih? Senang karena bertemu lagi dengan Akira, tetapi sedih karena pertemuan mereka tak istimewa sama sekali.

"Tunggu-tunggu? Akira yang mana?" Advait sedikit loading sebentar––padahal sebelumnya sudah terkaget-kaget.

"Siapa lagi? Jelas Akira yang paling cantik itu," balas Arthur tersenyum lebar––seraya membayangkan wajah Akira yang penuh mempesona itu.

Advait mengernyitkan dahinya. "Akira yang paling cantik? Akira yang ada di Film Bollywood itu?" tebaknya yang mengaco.

"Bukan..." jelas Arthur geregetan. "Akira yang pernah satu SMP dengan kita, masa kau lupa? Dia gadis tercantik di sekolah. Yang sering marah-marah tak jelas itu."

"Oh..." Advait baru mengerti. "Lagipula kau mengatakan Akira yang sangat cantik itu. Itu cantik dari mananya?!"

Arthur melotot mendengar jawaban Advait. "Cantik dari mana?! Dia sangat cantik! Cantik seperti peri--"

"Peri? Dia itu seperti penyihir, penyihir kejam!" sela Advait yang tak setuju dengan pendapat Arthur.

"Oke, aku setuju dengan pendapat mu jika dia adalah penyihir. Namun dia adalah penyihir yang paling cantik yang pernah kutemui," jelas Arthur lagi, kali ini senyumannya semakin lebar.

"Stres..." lirih Advait. "Lagipula kenapa dia bisa menabrak mu? Dia punya dendam pribadi denganmu? Oh iya aku lupa, dia selalu iri padamu."

"Dia sedang kejar-kejaran dengan seseorang dan aku justru diam ditengah jalan--"

"Kau diam ditengah jalan?!" sela Advait tak mengerti.

"Ya, aku diam ditengah jalan... Tepatnya hendak berfoto karena jalanan yang sepi, tapi tak ku sangka ada yang balap-balapan..." Sejujurnya Arthur malu mengatakan ini––mengapa dia sangat narsis? Jika Akira tahu alasannya, mungkin gadis itu sudah ilfil duluan.

"Lalu bagaimana? Kau sudah meminta nomer teleponnya?" tanya Advait serius.

Sepertinya rasa suka Arthur kepada Akira sangat berlebihan. Buktinya sampai sekarang perasaan itu masih sama, padahal sudah bertahun-tahun berlalu. Pantas saja  Arthur tak pernah dekat dengan gadis lain hanya karena masih menyukai penyihir kejam itu.

"Tidak," balas Arthur.

"Kenapa? Kenapa kau menyia-nyiakan kesempatan itu?" Advait terlihat kesal.

"Tak ada kesempatan untuk meminta nomernya. Pertama, aku yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Kedua, ibuku selalu mengawasi ku dan ayahnya Akira juga ada disana. Mana mungkin didepan mereka aku meminta nomernya?"

"Iya benar juga." Advait setuju. "Sebenarnya apa yang kau suka darinya? Penyihir itu tidak ada istimewanya sama sekali."

"Dia sangat istimewa bagiku. Mungkin kau hanya mengenal Akira yang galak, judes, dan tak berperasaan. Namun dia punya sisi lain tak pernah dilihat oleh orang lain," aku Arthur yang tak melepaskan bayangan wajah Akira.

"Bilang saja kau menyukainya karena dia cantik!"

"Iya memang benar, tapi sisi lain itu yang membuatku semakin menyukainya hahaha..." balas Arthur tertawa aneh diakhir.

Tok tok tok

Ceklek

"Hai..." sapa Vikram yang mengintip di pintu lalu masuk ke dalam dengan membawa beberapa makanan di tangannya.

My Sweet Brother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang