Vikram dan Advait mulai menjalankan tugas mereka; yaitu menculik Anthony untuk mengetahui kebenarannya. Terdengar konyol, memang. Hanya perihal ingin tahu siapa kekasih yang sebenarnya pun harus melakukan semua ini, padahal masih banyak cara-cara mudah. Mungkin hidup mereka terlalu membosankan.
"Aku sudah siapkan tempatnya, jadi kalian tinggal culik saja." Ayana memberikan senyuman sumringahnya––membayangkan betapa kerennya mereka sekarang; mereka akan menculik, seperti di novel-novel.
Vikram memberikan senyuman palsunya. "Mengapa kau terlihat sangat bahagia, Nona?"
"Tentu saja bahagia, ini adalah pengalaman yang seru! Kita adalah orang-orang beruntung yang mendapatkan kesempatan menculik!" Ayana tampak geregetan––saking bahagianya.
Advait dan Vikram saling melirik dengan tatapan datarnya; banyak komunikasi dalam tatapan tersebut.
Advait langsung cengengesan seketika. "Hahaha, iya benar... Kita adalah orang-orang beruntung itu," kata Advait yang sejujurnya terpaksa, pura-pura bahagia demi kepuasan gadis itu.
Vikram pun ikut cengengesan paksa. "Hahaha iya benar, beruntung..."
Dalam hati; Apa nya yang beruntung dalam menculik? Ini menculik loh, bukan mendapatkan hadiah uang miliaran batin Vikram yang masih cengengesan tak jelas.
Sedangkan dalam hati Ayana; Kalau di novel sih penculikannya seru, tapi sayangnya ini yang diculik ayah, bukan pria tampan. Tak apa, yang penting parthernya tampan hahaha
Advait garuk-garuk kepalanya sambil berkata dalam hatinya; Sejujurnya apa keuntungan ku melakukan ini semua?
Vikram menghentikan cengengesannya dan menghela nafas jengah, lalu berkata, "Haruskan kita melakukan ini?" tanyanya dengan nada kecewa.
Sejujurnya ia tak mau melakukan ini. Jika ada apa-apa, tentu saja mereka yang kena––bukan Arthur atau Akira yang sedang berleha-leha sekarang.
Dengan semangat palsu Advait menjawab, "Tentu saja harus melakukan ini! Kita tidak boleh berhenti dipinggir jalan!"
Vikram menatap Advait datar. "Tengah jalan, TENGAH!" jelasnya yang sudah muak.
Dengan polosnya Advait menjelaskan, "Sama saja yang penting berhenti."
Masih dengan kesal Vikram menjawab, "Tentu saja berbeda; kalau kita berhenti ditengah jalan otomatis akan tertabrak! Sedangkan kalau dipinggir jalan akan baik-baik saja!"
"Belum tentu aman, bagaimana jika dipinggir jalan ada--"
"Lupakan pinggir dan tengah okey? Lebih baik kita maju sampai dapat, ya?" sela Ayana agak heran.
Vikram menghela nafas jengah lagi. "Kalau karena kalian... Aku tidak akan melakukan ini!"
Ayana memutar bola matanya malas sambil berkacak pinggang. Keluhan Vikram membuatnya kesal dan risih juga lama-lama. "Kalau kak Vikram tak mau melakukan ini, ya sudah, tak usah! Jangan ikut kami! Kau bisa pergi!"
Vikram mulai memberikan senyuman manisnya dan mulai berdrama. "Tentu saja aku mau melakukan ini, untuk mu dan sahabat-sahabat ku, ya ka Ad?"
Advait memberikan senyuman gelinya.
Ayana masih marah. "Jangan merasa dipaksa! Kalau tidak mau, ya jangan!"
Lagi-lagi Vikram mulai dramatis. "Tentu saja aku mau. Penculikan ini tampak keren, seperti di novel-novel! Masa aku kehilangan momen beruntung ini?" katanya mengikuti Ayana sebelumnya.
"Ini benar-benar my dream..." tambahnya sambil berpura-pura berimajinasi indah.
Advait tampak shock dengan kelakuan temannya ini, yang bisa dibilang agak cool. Sedangkan Ayana yang masih kesal pun memilih pergi duluan, buru-buru Vikram menyusulnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Brother
RandomArthur selalu menjadi penggemar beratnya Akira selama masa di sekolah. Gadis itu pemberani, galak dan menggemaskan--ia selalu mempunyai ide cemerlang di otaknya yang membuat Arthur sangat-sangat menyukainya. Namun pemuda itu tak pernah berani menyat...