Pagi-pagi sekali Akira sudah mengajak Ayana pergi kerumahnya Arthur. Padahal adiknya ini masih sangat mengantuk karena kekurangan tidur. Contohnya saat ini; Ayana sibuk menguap sembari menahan malu, sedangkan Akira? Jangan tanyakan apa––gadis itu tengah mengetuk pintu rumahnya Arthur dengan sangat kencang, sampai-sampai tetangga sebelah mengintip ke arah mereka karena saking kencangnya ketukan itu. Mungkin orang-orang berpikir jika Akira adalah preman yang hendak mengacau atau mungkin lebih ke orang yang sedang menagih hutang.
Ayana tampaknya sangat risih dengan tingkah kakaknya ini. Bagaimana pun ini masih sangat pagi, dan ia juga masih sangat mengantuk; dirinya tidur pukul 2 malam dan jam 6 pagi sudah berada di rumah orang. "Sabar lah kak! Lagipula kakak datangnya kepagian, dia masih tidur kali.
"Masa jam segini masih tidur? Ini sudah siang!" Akira marah-marah tak jelas karena belum juga dibukakan pintunya oleh sang tuan rumah.
"ARTHUR BANGUN! BUKAN PINTUNYA!" pekiknya tanpa malu––tetangga disana sudah melirik sinis karena kebisingan yang dibuat Akira.
"Ini masih pagi! Bukan siang! Matamu buta?" Ayana semakin tak habis pikir.
"ARTHUR!! BUKAN PINTUNYA!!" pekik Akira lagi. "Lagipula ini sudah agak siangan! Anak sekolahan saja sudah mulai berangkat ke sekolahnya masing-masing! Orang-orang yang bekerja juga sudah mulai bekerja! Sedangkan anak mami itu belum bangun juga? Aku benar-benar tak habis pikir," omel Akira dengan sangat dramatis, sembari mengibaskan rambutnya yang kegerahan dan matanya yang memutar malas.
"Ya kemarin kan kau pergi ke club dengannya. Otomatis dia tidurnya agak terlambat jadi susah dibangunkan--"
"Tapi aku bangun-nya tepat waktu," sela Akira tak mau kalah.
Ayana memutar bola matanya malas. "Terserah!"
Namun sedetik kemudian pintu pun terbuka dengan lebar dan tampaklah seorang pria yang baru saja terbangun dari tidurnya. Matanya masih sedikit terpejam, tetapi shock saat melihat Akira. Siapa lagi jika bukan si tuan rumah Arthur?
"Eh Ki--"
Akira memajukan bibir nya kesal karena baru dibukakan pintunya, menatap Arthur dengan tatapan sinisnya lalu menyelonong masuk tanpa izin––bahkan menyenggol lengan sang pemilik rumah tanpa dengan kasar. Ayana yang menyaksikan itu langsung ternganga lebar. Gadis itu memang tak tahu sopan santun sama sekali.
"Maaf ya kak..." kata Ayana sembari cengengesan.
"Tidak masalah. Oh iya, kau adiknya Akira? Ayana kan?" Arthur mencoba memastikannya kembali.
Ayana mengangguk dengan ramah dan dengan senyuman manisnya, berbanding terbalik dengan Akira sendiri. Arthur agak heran dengan perbedaan dari mereka ini.
"Ayo masuk..."
Akira mendudukkan tubuhnya di atas sofa berwarna coklat dengan angkuh, kakinya menyilang ke atas. Ayana dengan malu-malu pun ikut duduk disamping Akira dengan sopan.
Advait yang nyawanya belum seratus persen pun ternganga melihat Akira. Rambutnya masih acak-acakan, lebih dari acak-acakan. Saat melihat Akira, rasanya ingin lebih mengacak-acaknya. Dirinya terbangun karena ketukan pintu dan suara bising yang dibuat Akira. Lalu gadis itu masuk seenaknya, seolah-olah yang punya rumah.
"Penyihir ini," gumam Advait masih tak percaya ada manusia sepertinya di dunia ini. "Ada apa gerangan datang kemari pagi-pagi sekali? Mau menumpang sarapan?" tanyanya halus tetapi penuh sindiran.
"Oh jelas tidak," balas Akira sombong. "Dirumah ku banyak sekali makanan yaar. Bahkan aku membawa beberapa makanan ku untuk kalian!" tambahnya dengan matanya yang sedikit melotot ke arah Advait.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Brother
RandomArthur selalu menjadi penggemar beratnya Akira selama masa di sekolah. Gadis itu pemberani, galak dan menggemaskan--ia selalu mempunyai ide cemerlang di otaknya yang membuat Arthur sangat-sangat menyukainya. Namun pemuda itu tak pernah berani menyat...