Fino menjadi yang paling terakhir masuk ke dalam apartement milik Arson. Dia mengabaikan tiga orang lainnya yang sibuk dengan aktifitas masing-masing dan memilih langsung melangkah menuju balkon. Dia bersandar pada pagar pembatas, menyulut rokoknya sambil mengamati suasana malam yang sunyi.
"Bang, mau minum apa?" tanya Arson yang menghampiri.
Fino menggeleng singkat sebagai jawaban. Kemudian, menggerakkan tangannya sebagai kode supaya Arson mendekat. "Kesini, gua mau ngomong," katanya.
Meskipun mengernyit bingung, Arson tetap menurut. "Mau ngomong apa, bang?"
Bukannya langsung menjawab, Fino justru tampak sibuk mengutak-atik ponselnya, dengan rokok yang dibiarkan terselip pada sela bibir. Mengabaikan Arson yang tetap diam, menunggu sampai dia yang bicara. Setelah beberapa menit, Fino bergerak menyodorkan ponselnya di hadapan Arson, memperlihatkan ruang percakapan sebuah aplikasi chatting.
"Besok pergi ke psikolog. Gua udah minta Sultan buat ngurus jadwalnya," kata Fino santai.
Arson tidak mengerti dengan perkataan Fino. Dia membaca satu per satu teks pada ruang chatting itu, dan alisnya kian menukik beriringan dengan matanya yang bergulir menuju kata terakhir.
Fino masih tetap orang dengan kosakata singkat yang sulit dimengerti, bahkan dalam chatting sekalipun. Jadi, Arson masih belum mendapat maksud dari ucapan Fino."Psikolog buat Devon?" Pada akhirnya, dia memutuskan untuk tetap menanyakan kebingungannya.
Fino menghisap rokoknya, lalu menghembuskan asap dengan napas gusar. "Buat lo," jawabnya penuh penekanan.
Arson mengernyit bingung. "Buat gua?"
Fino mengangguk. "Di dalam flashdisk yang gua kasih itu lo bisa liat rekaman CCTV yang dipasang di rumah Devon. Dari situ lo bakal ngerti kalo semua perilaku Devon itu karena trauma sama perlakuan abusive yang ayahnya lakuin." Fino menjeda ucapannya hanya untuk menghisap rokoknya lagi. "Dan ngerawat orang yang punya trauma kayak gitu bukan hal yang gampang. Gua tau lo capek, jadi gua saranin sebelum Devon yang pergi ke psikolog, mendingan lo duluan yang konsul. Jernihin pikiran lo, baru setelah itu lo bisa ngerawat Devon lagi."
Arson terdiam. "Tapi, bang... Gua ngerasa oke aja selama ngerawat Devon," sangkalnya.
Fino mendengus pelan mendengar kata 'oke' keluar dari mulut Arson. Dia nyaris tertawa sinis ketika mengingat kejadian di lorong rumah sakit tadi, tapi Fino adalah orang yang teramat handal dalam mengendalikan diri sehingga dengan mudah menutupi ekspresinya dengan raut santai yang terkesan datar.
"Kalo emang lo sayang sama Devon, lo boleh dengerin kata gua, tapi kalo enggak juga gapapa," Fino yang sebelumnya selalu bersikap abai pada lawan bicaranya, kini memfokuskan pandangannya menatap Arson dengan mata tajamnya yang menyorot serius.
Tatapan itu membuat Arson tidak berani berkutik. Lebih dari empat tahun mengenal Fino, Arson tahu bahwa ketika Fino melakukan kontak mata saat berbicara, artinya ini adalah hal yang sangat penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...