041

5.2K 435 35
                                    

Setelah Devon terlihat sudah benar-benar pulas dalam tidurnya, Arson perlahan melepaskan pelukan di lengannya. Dia bergerak hati-hati bangkit dari tempat tidur, dan berjalan menuju meja belajar yang terletak di pojok kamar.

Arson membuka laptopnya untuk memeriksa file yang diberikan oleh Fino. Dia membuka file bertuliskan 'rekaman CCTV' yang berada di urutan teratas. Tanpa berpikir lama, dia mengklik file tersebut yang berisi beberapa video dengan durasi bervariasi. 

Arson membuka salah satunya secara acak. Rekaman itu memperlihatkan Devon yang sedang disiksa oleh seorang pria dewasa, yang Arson duga adalah Ayah dari Devon.

Terlihat Devon yang dipaksa meminum alkohol hingga nyaris habis setengah botol, ditendang, diseret, dan dipukuli tanpa belas kasih. Padahal jelas sekali, Devon sudah berulang kali memberikan gestur kesakitan dan memohon supaya berhenti. Namun, semuanya terus berlanjut sampai tubuh Devon tidak lagi bergerak, baru kemudian dia ditinggalkan sendirian dalam ruangan itu.

Arson terdiam, matanya terpaku pada layar. Dia merasa sangat shock setelah melihat hal itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia membuka video lain. Isinya masih sama, yaitu adegan kekerasan yang dilakukan terhadap Devon. Setiap detik video itu seolah-olah menghantam hati Arson, membuatnya merasa semakin marah dan gelisah.

Tangan Arson sudah mengepal dengan rahangnya yang mulai mengeras tanpa sadar, hingga setetes air mata jatuh dari kelopak matanya. Arson menangis karena luapan emosi yang tidak bisa lagi dia tampung. Dadanya ikut merasa sesak setiap kali melihat adegan kekerasan itu. Marah sekali rasanya melihat Devon diperlakukan begitu oleh ayahnya sendiri.

"Dasar bajingan brengsek!" geram Arson mengumpat.

Hati Arson semakin hancur, ketika dia mengingat betapa lemah dan rapuhnya Devon selama beberapa minggu terakhir efek dari tindakan bodoh yang dilakukan oleh bajingan itu.

"Hoek!"

Suara itu membuat Arson segera menoleh ke arah tempat tidur. Dia terkejut ketika melihat Devon yang sudah terduduk dengan wajah pucat dan cairan muntah yang mulai mengotori sekitarnya.

Kepala Devon terangkat dengan ragu, menatap Arson dengan mata yang menyorot panik. "A—Arson..." panggilnya dengan suara bergetar.

Arson cepat-cepat menutup laptop,  menyingkirkan semua pikiran yang berkecamuk dalam kepalanya, dan bergegas pergi ke sisi Devon. “Masih terasa mau muntah lagi gak?” tanya Arson cemas.

Bukannya menjawab apa yang Arson tanyakan, Devon justru bungkam. Dia berusaha menahan suara tangisnya, meski air mata sudah mengalir dari tadi. "A—Arson...maaf... M—maaf Devonnya nyusahin..." katanya yang sebisa mungkin tidak terisak.

"Gapapa, udah jangan nangis" Arson menggerakkan tangannya untuk menghapus lelehan air mata di wajah Devon dengan gerakan lembut.

Devon menggeleng. "E—enggak... Devon enggak...nangis kok"

Arson nyaris tertawa mendengarnya, sebab yang Devon katakan berbanding terbalik sekali dengan matanya yang sudah sembab.

Tanpa berpikir lagi, Arson langsung bergerak membersihkan muntah Devon yang mengotori selimut. Dia mengambil tisu dari nakas dan dengan lembut menyeka wajah Devon tanpa ada perasaan jijik sedikitpun. "Sini gua gendong ke kamar mandi, kita bersihin dulu badan lo," katanya sambil mengulurkan tangan.

Devon hanya mengangguk pelan, menerima bantuan Arson tanpa banyak bicara.

Arson mengangkat tubuh Devon dengan hati-hati, memastikan tidak ada gerakan yang membuat Devon merasa tidak nyaman.

"Arson marah?" Devon berbisik pelan.

Arson mengernyit. "Marah kenapa?" tanyanya heran.

"Kan...emm—itu karena Devon kotorin kasurnya Arson. Maafin Devonnya ya, Devon gak sengaja. Harusnya Devon bisa tahan, tapi pas Devon bangun tiba-tiba udah keluar gitu aja dari mulutnya Devon... Devon gak tau... Maafin ya Arson"

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang