08

85 8 0
                                    

Happy reading!!












Suara gema takbir terdengar mengalun ditelinga. Biasanya hari seperti ini, banyak orang-orang yang berbondong-bondong ke masjid untuk menyaksikan atau bahkan ikut memotong hewan qurban. Tapi tidak dengan Malika. Selepas mengikuti sholat eid di masjid, gadis itu hanya berdiam dirumah.

Fathia, yang melihat anaknya hanya berleha-leha diatas karpet sembari memainkan ponsel itu pun berdecak sebal. Punya anak gadis satu tapi malesnya Nauzubillah.

"Kemasjid sana loh, dek. Kamu udah jarang ikut karang taruna semenjak masuk kuliah." Ucap Fathia.

Malika mengerucutkan bibirnya lucu. Lagian dia tidak malas-malas amat kok ikut kegiatan karang taruna. Biasanya ia berangkat rapat, walaupun masih banyak tidak ikutnya. Kalaupun ada acara takbir keliling atau acara tujuh belasan ia tetap keluar, ikut kegiatan.

"Ibun denger, keputrian ikut bantuin ibu-ibu masak di masjid kan? Kamu ikut sana, masa anak gadis nya Ibun ngga pernah keluar," ujarnya sembari menyiapkan bumbu.

"Males, ah, Ibun. Lagian, kan, Bang Uzi udah disana. Perwakilan aja udah." Jawab Malika sembari memakan kripik tempe yang membuat Ibun berdecak sebal.

"Ngga enak loh dek kalau nanti ada yang tanya kenapa kamu ngga ikut, sedangkan teman-teman kamu ikut semua ke masjid."

"Malika takut dimarahin sama ibu-ibu nya. Malika kan ngga bisa masak, Ibun. Nanti kalau ada salah pasti ibu-ibu nya marah-marah," ujar Malika menyuarakan perasaannya.

"Dari pada nanti dimarahin, ya Malika memutuskan untuk dirumah aja bantuin Ibun bikin rendang," ujar Malika sembari tersenyum kearah Ibundanya.

"Ya, kamu bantu potong-potong aja. Kalau ngga ya angkat-angkat apa gitu," ujar Ibun.

"Malika bukan kuli," jawab gadis itu tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.

Fathia menggelengkan kepalanya pelan. Mendengar jawaban yang terus keluar dari bibir anaknya membuat dia gemas ingin mencabut lidah Malika dari dalam mulutnya.

"Yaudah, Ibun minta tolong beliin gula merah sama kecap di warung Budhe Ijah," ujar Ibun sembari merogoh kantung dasternya.

"Lebihin uangnya buat jajan aku, Ibun."

Ibun kembali berdecak sebal. Ia lantas menukar uang itu dengan uang ysng lebih besar agar Malika mau pergi kewarung untuk membelikan kecap dan gula jawa.

"Gula merah lima ribu, kecap nya kamu tinggal ambil di rak. Ingat, Malika! Ngga boleh jajan lebih dari lima ribu!" ujar Ibun yang membuat Malika oke-oke aja.

Malika segera berjalan keluar rumah. Gadis dengan mulut yang masih mengunyah keripik itu berlari kecil menuju warung diujung gang rumahnya.

Sesampainya diwarung, Malika tidak langsung dilayani. Ia masih harus bersabar memanggil pemilik warung karena tidak kunjung keluar. Ini yang Malika tidak suka jika pergi ke warung. Sebab, pemilik warung seolah tidak niat berjualan.

"Budhe Ijahhh! Beliiii!" ujar Malika mengeraskan suaranya.

Tangan gadis itu tidak bisa diam, tangannya terus menyentuh berbagai chiki-chiki dan jajanan lain disana.

"Ya ampun, gue jungkir juga nih etalase!" gumam Malika sebal sendiri.

Malika menghela nafasnya panjang. Gadis itu memejamkan kedua matanya sejenak, lantas kembali memanggil pemilik warung.

"BUDHE IJ-"

"Beli apa?" Potong lelaki yang keluar dengan muka beningnya.

"Hehehe, Mas Adam. Malika mau beli gula merahnya lima ribu ya, sama es ini," ujar Malika berubah ramah.

Malika si Kecap AsinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang