21

89 11 0
                                    

Happy reading!





















Senin pagi yang menjengkelkan, Malika harus bersiap diri untuk ke kampus karena jam kuliah akan dimulai pada pukul 08.00 pagi. Gadis itu berjalan dengan lesu menuju ruang makan. Malika mendudukkan dirinya di samping Ibun lalu meminum susu buatan ibunda tercinta.

"Kok lesu gitu, kenapa, dek?" tanya Ibun.

"Capek banget Ibun, Malika masih ngantuk tau." Rizal geleng-geleng kepala melihatnya.

"Makanya, udah tahu ada kuliah pagi kenapa masih begadang maraton drakor?" tanya Ibun sedikit sewot.

"Niatnya Malika cuma mau nonton dua episode, tapi malah keterusan, deh."

"Kebiasaan kamu itu," ujar Ibun seraya menggeser piring untuk putrinya.

"Udah, tuh dimakan. Habis itu berangkat sama Ayah."

"Kok sama Ayah, Ibun? Abang udah berangkat kerja?" tanya Malika sembari memakan nasi.

"Iya, sengaja berangkat pagi karena Ibun tadi titip sesuatu buat calon besan." Malika menganggukkan kepalanya paham.

"Ibun, boleh ngga waktu nikahan Abang, Malika ngga usah pakai kebaya?" tanya Malika yang membuat Ibunya bingung.

"Kenapa ngga mau pakai kebaya? Nanti kamu dikira tamu, bukan bagian dari keluarga."

"Gerah tahu, Bun. Pake kebaya juga ngga leluasa jalannya soalnya pake rok span, kan?" ucap Malika.

"Pakai lah, dek. Biar kompak." Malika mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan sang Ayah.

"Malika berangkat, ya, ibun?" ucap Malika sembari menarik tas miliknya.

"Masuk jam delapan kan, dek? Ini masih jam enam." Malika mengangguk saja sembari menarik tangan Ayahnya.

"Malika mau santay Ibun, lebih baii datang cepat terus nunggu masuk nya di kampus dari pada berangkat mepet," ujar Malika yang diangguki oleh Ibun.

"Yasudah, hati-hati ya?" Malika mengangguk saja lantas keluar dari dalam rumah.

Sedangkan disisi lain, Imel tengah bersama Dimas. Gadis itu memang tengah sendiri, menunggu Malika yang katanya akan berangkat dua jam sebelum jam kuliah mulai namun hanya omong kosong. Dimas yang melihat Imel sendiri pun memilih untuk menemaninya.

"Oh ya, Kak. Gue mau tanya sesuatu," ucap Imel yang dibalas anggukan oleh Dimas.

"Boleh, mau tanya apa?" balas Dimas.

"Waktu ke acara nikahan Athallah waktu itu, Malika cerita. Katanya Lo ngga bolehin Malika main sama Kak Heksa, ya? Kalau boleh tau, kenapa kok Malika ngga boleh main sama Heksa? Bukanya dari awal lo yang selalu jodoh-jodohin mereka ya, Kak?"

Dimas terdiam mendengar pertanyaan gadisnya, ah maksudnya Imelda. Dimas bingung harus berkata bagaimana. Jujur, atau kembali berbohong?

"Kak?"

"Gue bakal cerita, tapi lo diem-diem dulu, ya? Jangan ngomong sama Malika." Imel mengangguk mendengarnya.

"Temen-temen gue, main taruhan. Kalau Heksa bisa dapetin Malika, Heksa bakal dapat sesuatu dari mereka." Imel membulatkan kedua matanya sempurna.

"Demi apapun, Mel. Gue juga baru tahu beberapa hari yang lalu. Begitu tahu, gue langsung bilang sama Malika supaya dia ngga nge-iyain ajakan Heksa. Ntah itu main atau yang lain, gue ngelakuin itu supaya Malika ngga kemakan omongan Heksa."

"Mereka jadiin Malika taruhan tanpa sepengetahuan gue. Gue ngga tahu apa-apa, Mel." Imel terdiam mendengarnya.

"Makanya gue ngerasa bersalah. Malika udah baik sama gue, dia yang bantuin gue selama gue kirim-kirim makanan buat lo. Gue ngga tega aja kalau Malika sampai jadi bahan taruhan temen-temen gue," ujar Dimas.

Malika si Kecap AsinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang