16

108 18 6
                                    

Happy reading!












Hari ini Malika berjalan kearah Ayah dan Ibunnya. Gadis dengan setelan santai itu mendudukkan dirinya di sofa seberang sembari menatap televisi yang menyala.

"Kamu ngga kuliah?" tanya Ayah.

"Nanti, masuk jam satu siang kok," jawab Malika sembari menggaruk lehernya yang sedikit gatal.

"Ibun sudah tau," ucap Ibun seraya melirik Malika yang terdiam di depannya. Gadis itu tampak semakin menegang ketika kedua orangtuanya terlihat menghela nafasnya panjang.

"Semalam Abang cerita sama Ibun sama Ayah," ujarnya lagi yang membuat Malika semakin menundukkan kepalanya.

"Patah hati itu wajar, semua orang juga pernah mengalaminya. Ngga apa-apa, harus terima apa yang sudah Allah takdirkan untuk kita," ujar Ibun sembari menyeduh teh untuk anak dan suaminya.

"Allah itu pencemburu, Nak. Allah cemburu sama hamba-nya yang lebih mencintai makhluk-Nya dari pada diri-Nya." Malika terdiam mendengar ucapan Ayahnya.

"Saat hati kamu terlalu berharap kepada seseorang, maka Allah timpakan kepadamu pedihnya sebuah pengharapan. supaya kamu tahu bahwa Allah sangat cemburu dengan hati yang berharap pada selain Dia. maka Allah memberimu luka agar kamu kembali berharap kepada-Nya."

"Maka saat kita berharap lebih kepada manusia, segeralah kembali pada Allah SWT. Karena kita akan mendapatkan kekecewaan jika terlalu berharap pada manusia."

"Maaf ya, Ibun, Ayah. Malika bukanya fokus kuliah malah sibuk mikir cinta," ujar Malika menatap Ibundanya sendu.

"Ngga apa-apa, Ibun ngga marah kok. Suka sama seseorang itu wajar. Justru kalau kamu ngga bisa suka sama laki-laki malah harus dipertanyakan. Tapi jangan sampai kamu lupa sama batasan kamu," ujar Ibun sembari mengulas senyum lembutnya.

Malika menatap kedua orangtuanya bergantian dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Gadis itu menundukkan kepalanya dalam. Merasa malu dan sedih karena dirinya sendiri.

"Sini, peluk Ayah dulu!" ujar Ayahnya sembari merentangkan sebelah tangannya.

Malika berjalan mendekat kearah Rizal, memeluk tubuh Ayahnya sembari menyandarkan kepalanya pada bahu tegap sang Ayah.

"Ngga apa-apa. Anak gadis Ayah udah gede ya, sekarang." Malika tersenyum tipis mendengarnya.

"Ayah sama Ibun ngga nyalahin kamu kok. Jangan merasa bersalah gitu," ujar Rizal mengusap-usap punggung putrinya dengan lembut.

"Kenapa nih?" tanya Fauzi sembari mendudukkan dirinya disamping Malika.

"Galau dekss?" ejek Fauzi sembari mencolek pipi adiknya yang membuat Malika langsung menekuk wajahnya.

"Ngga usah diganggu dulu, Abang. Adeknya baru ngga enak suasana hatinya." Ucap Ibun.

"Kasihan, bocil begini udah galau aja," ucap Fauzi tidak mendengarkan ucapan Ibunya.

"Aku udah gede, ya!" bantah Malika sembari memukuli tubuh Kakaknya.

"Ayah, Abang, tuh!" adu Malika pada sang Ayah.

"Kamu semprot balik. Suka kok cuma diem aja," ucap Rizal sembari merangkul pundak putrinya.

"Loh, Abang kan udah lamar Zafi, Yah," bantah Fauzi merasa tidak terima dengan ucapan Ayahnya.

"Halah, itu kalau engga Ayah yang nyuruh cepet-cepet lamar Zafi juga sampai sekarang ngga bakal ada kemajuan," ujar Ayah Rizal yang membuat Malika dan Ibun terbahak.

Malika si Kecap AsinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang