Dhara membiarkannya kakinya menggantung begitu saja, duduk di atap gedung bangunan tak terpakai dengan darah yang sudah mengering di wajahnya.
Kepalanya semakin pusing, dia juga merasakan pandangannya kabur, mungkin jika dia pingsan, tubuhnya akan benar-benar terjatuh dan hancur tertusuk besi-besi tajam di bawah sana.
Perempuan itu mengadahkan kepalanya sepasang mata sayu menatap langit dengan putus asa.
"Biar apa lo begini? Mau caper sama gue?" Bas terlihat terengah-engah, cowok itu memelankan langkahnya setelah Dhara menoleh.
Helaan napas Bas membuatnya mengulas senyum tipis. "Caper-caper gini juga lo dateng, Kan?"
Melihat kondisi Dhara membuat Bas terdiam, bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi. Cowok itu mengulurkan tangannya. "Katanya mau pulang? Ayo gue anterin."
Menerima uluran tangan itu, Dhara berdiri terhuyung-huyung. "Gue hampir mati, dipukul ayah," adunya sembari memperlihatkan kepala dan lebam-lebam di tubuhnya.
Bas mengangguk, tangganya bergerak merapikan rambut perempuan itu. "Bagian mana lagi yang sakit?" tanyanya dengan sangat pelan.
Alih-alih menjawab, Dhara justru menunduk, kemudian tangisannya pecah, dan Bas kembali membuka kedua tangannya, menyambut pelukan Dhara yang sedang diterpa nestapa.
Bersama Bas membuat luka, tapi tanpa Bas dia tidak akan bisa.
"Ayo ke dokter."
"Nggak mau, nanti lo ninggalin gue."
"Jangan batu, lo lagi sekarat!"
Dhara justru mendekapnya semakin erat. "Daripada sendirian, mending gue mati di pelukan lo aja."
Bas hampir memaki-maki, tapi dia kembali menutup mulutnya saat tubuh Dhara luruh begitu saja, perempuan itu kehilangan kesadaran.
Daripada khawatir, mungkin Bas lebih takut jika dia disalahkan jika Dhara terjadi sesuatu.
Dijadikan sebagai tersangka contohnya.
***
"Bunda, kok ayah nggak pulang-pulang?" kata Dika dengan wajah pucat, dari tadi, anak itu muntah-muntah sampai tubuhnya lemas, bahkan bibirnya sudah kering kerontang.
Pikiran bunda berkecamuk, kepalanya sakit memikirkan ke mana perginya Dhara yang babak belur dan Dika yang tiba-tiba muntah-muntah mengeluh sakit kepala, tadi juga sempat kejang-kejang sebentar.
"Tapi kalau nggak pulang nanti ayah tidurnya di mana, Bun?" tanya anak itu lagi.
"Abang kok mikirin ayah yang jahat sih? Biarin tidur di luar, ayah jahat!" seru Deka.
Dika mengernyit dengan bibir bergemetar. "Emang ayah kenapa?" Dia memegangi kepala dan telinganya yang tiba-tiba berdenging.
"Udah-udah, Dika tidur ya? Kan lagi sakit, bunda bikinin teh anget mau?"
Anak itu mengangguk, dia merebahkan tubuhnya, kepalanya menoleh ke arah Deka yang sedang memijit lengannya. "Abang sakit banget ya? Tadi kan sampai terbang pas ketabrak mobil ...."
"Aku baru ingat, kata kak Dhara, jadi dewasa itu sulit, padahal menurutku nggak mungkin sesulit itu. Kalau udah dewasa, aku bakal cari uang yang banyak buat bunda, terus kalau aku udah dewasa, badan dan ototku pasti gede, jadi bisa lawan ayah buat lindungi bunda dan kak Dhara, ayah pasti kalah, kan?"
Deka yang notabene masih sangat kecil belum dapat mencerna kalimat itu dengan baik, tapi anak itu mendengarkannya dengan seksama.
"Deka mau melindungi bunda juga, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SAMAR
Teen FictionHatinya samar, dia tidak tahu apakah perasaannya adalah cinta atau hanya obsesi semata. "Lo tau apa yang lebih nggak berguna dari nangisin mantan?" "Mungkin hidup lo di dunia ini." "Adalah kabur dari gue."