Orang itu berdiri di dekat mayat itu, dan bau amis yang tajam tercium pekat di udara.
Pakaian dan tangannya kini berlumuran darah. Meskipun dia baru saja membunuh seseorang, sikapnya sangat tenang. Dia bersenandung sendirian, seolah hanyut dalam momen yang baginya memuaskan itu.
"Satu lagi korban baru," katanya sedikit bangga. Dia melirik sosok pria paruh baya yang bergeming di dekat kakinya dengan tatapan dingin.
"Tapi sayang sekali dia terlalu bodoh," gumamnya, seolah sedang mengobrol dengan korbannya. Dia membungkuk dan menyentuh wajah mayat itu, "dan terlalu mudah untuk dibunuh. Aku butuh seseorang yang lebih pintar."
Dia terkekeh, lalu menyeka noda darah dari dagunya dengan punggung tangan. Tatapannya tertuju ke sekeliling ruangan kecil itu, mengamati sisa dari hasil pembunuhan yang dia lakukan. "Namun siapa yang bisa memberiku tantangan baru? Aku bosan dengan target semudah ini."
Dia berdecak frustasi dan menghela napas dengan gusar. Korban-korbannya sebelumnya memang terlalu mudah dibodohi, dan dia jenuh dengan alur pembunuhan repetitif yang mudah ditebak. Dia ingin sesuatu yang lebih sulit, lebih menantang.
"Ya, benar. Sudah waktunya untuk mencari seseorang yang menarik. Dan kemudian..." Dia berhenti. Senyuman licik terlihat di wajahnya saat berdiri, "... kita bisa bersenang-senang."
Pria itu mengamati sekitarnya sekali lagi. "Tapi pertama-tama aku harus membereskan ini semua sebelum polisi datang."
Dia melepas jaketnya, memperlihatkan baju yang dipenuhi noda-noda merah. Tanpa ragu, dia mulai menghilangkan bukti-bukti pembunuhan di tempat itu dengan tepat dan sempurna.
"Harus menghilangkan barang bukti," gumamnya pada dirinya sendiri. Suaranya bergema di ruangan itu. "Supaya tak ada petunjuk yang bisa dilacak para polisi dan detektif."
Dia membersihkan setiap bercak darah dan menghilangkan semua sisa pembunuhan sambil bersenandung pelan. Setelah beberapa jam, dia kembali menatap sekitar untuk memastikan tak ada yang terlewat. Kemudian dia meraih jaketnya dan memakainya lagi.
"Waktunya mencari target baru."
Kini pria itu berjalan keluar ruangan. Sejenak dia berhenti di ambang pintu dan menoleh, melihat mayat itu untuk terakhir kalinya. Dia bisa merasakan sensasi menyenangkan dan adrenalin yang mengalir di tubuhnya.
Untuk inilah dia hidup, pikirnya. Untuk perburuan, gairah, dan kekuasaan.
***
Ekspresi Maven muram saat mengamati pemandangan di hadapannya. Aroma busuk memenuhi udara, membuat perutnya sedikit mual. Meski dia detektif yang berpengalaman, adegan mengerikan seperti ini masih tetap membuatnya tak nyaman, tak peduli seberapa banyak kasus pembunuhan yang dia tangani.
Dia berlutut dan menatap mayat itu lebih dekat. Matanya terpaku pada setiap luka yang menewaskannya. Sudah jelas sang korban sangat menderita sebelum menemui ajalnya. Yang Maven tahu pembunuhnya kejam, bengis, sekaligus cerdik.
Dia berdiri dan melihat sekeliling, mencari petunjuk yang mungkin bisa membantunya memecahkan kasus ini. Ruangan itu cukup berantakan, dan bukti perlawanan terlihat jelas. Namun ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak dapat dipahami Maven. Entah siapapun pelakunya, ada pola tertentu yang terlihat hampir... artistik.
Maven berjalan mengitari ruangan, mencoba mencari tahu alasan mengapa sang korban dibunuh. Pikirannya berusaha menyusun teka-teki di hadapannya, tapi rasanya tak ada yang cocok satu sama lain.
Lokasi kejadian itu dipenuhi tim ahli forensik dan polisi yang mencari barang bukti. Maven lalu menghampiri salah satu ahli forensik yang sedang mengambil foto jenazah. "Apa kau menemukan sesuatu?"
Wanita itu menggeleng. Tatapannya masih tertuju pada TKP pembunuhan. "Pelakunya terlalu teliti dan pintar. Tak ada sidik jari, tak ada jejak DNA, dan tak ada apapun, seolah-olah dia tak pernah ada di sini."
"Itulah yang membuatku khawatir," kata Maven, sedikit frustrasi dan berharap menemukan petunjuk mengenai si pembunuh. "Tapi siapapun pelakunya pasti memiliki MO¹. Luka-luka korban tak terlihat acak atau berantakan, melainkan rapi dan penuh perhitungan."
Salah satu ahli forensik mendongak dari buku catatannya dengan ekspresi serius. "Apa maksudmu si pembunuh mempunyai tanda tertentu yang dia tinggalkan di setiap TKP?"
Maven mengangguk. "Mungkin saja. Beberapa pembunuh berantai memiliki MO tertentu yang membuat mereka dikenali dan juga untuk memperlihatkan kekuasaan atas korbannya."
"Namun jika memang demikian," sela salah satu polisi, "kenapa tak ada bukti apapun yang tertinggal di TKP ini?"
Maven menghela napas lalu berkata, "Pelakunya sangat hati-hati. Dia tak meninggalkan bukti sedikit pun karena tahu persis apa yang kita cari. Jadi dia memastikan untuk menutupi jejaknya dengan sempurna."
"Kalau begitu kita sedang berhadapan dengan pembunuh yang berpengalaman," kata salah seorang petugas memecah kesunyian, "dan selangkah lebih maju dari kita."
Maven mengangguk dengan gelisah. "Tepat sekali, dan itu yang membuatnya semakin berbahaya. Dia bukan hanya pembunuh, tapi juga mastermind. Itu artinya kita harus lebih waspada jika ingin menangkapnya dan menyeretnya ke pengadilan."
Saat itu juga, petugas lain masuk ke dalam ruangan.
"Detektif Kline," katanya dengan nada suara mendesak. "Kami menemukan sesuatu. Anda mungkin ingin melihatnya."
"Apa itu?" tanya Maven sambil mendekati petugas itu.
"Salah satu ahli forensik menemukan ini di saku celana korban," katanya lalu menyerahkan selembar kertas yang terlipat pada Maven. "Sepertinya semacam catatan."
Maven mengambilnya dan membuka lipatannya. Matanya mengamati kertas itu, dan ekspresinya berubah gelap saat membaca kata-kata yang diketik di sana.
"Apa isinya?" tanya petugas polisi itu. Nada suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.
Surat itu berbunyi, "Untuk departemen kepolisian, selamat telah menemukan karya seni terbaru saya. Saya tahu kalian berusaha menangkap saya, tapi usaha kalian akan sia-sia karena saya bukan hanya pembunuh, melainkan seniman, dan saya akan terus berkarya supaya kalian bisa menikmati hasilnya."
Ruangan itu langsung sunyi saat surat itu dibacakan. Rahang Maven mengeras saat memikirkan isi catatan itu. "Orang gila ini mengira dirinya seniman, ya?"
"Tapi apa yang dia maksud dengan 'karya seni'?" tanya salah satu petugas. "Apa kata itu mengacu pada sesuatu yang spesifik?"
Maven berpikir sejenak, mencoba mengartikan maksud si pembunuh. "Bisa saja dia hanya ingin memamerkan kejahatannya, tapi bisa juga sebagai petunjuk. Mungkin dia ingin memberi tahu kita sesuatu, atau fokus pada detail tertentu."
Tim petugas dan ahli forensik saling bertukar pandang. Mereka mencoba membayangkan seperti apa 'karya seni' misterius si pembunuh.
"Kita harus menyelidikinya lebih lanjut," kata petugas lainnya. "Dan melihat apakah ini semua ada kaitannya dengan isi catatan pelaku."
Maven mengangguk setuju. "Kita juga harus mengantisipasi tindakan sang pelaku supaya bisa menangkapnya sebelum dia beraksi lagi."
***
¹MO adalah singkatan dari modus operandi yang mengacu pada metode, pola, atau perilaku yang digunakan pelaku dalam melakukan tindakan kejahatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Predator
Mystery / ThrillerMaven si detektif ditugaskan untuk menangkap pembunuh berantai. Dia pun menyamar sebagai murder cleaner dan mendapat klien pertamanya yaitu Lucius, pria paling ramah di kota itu. *** Detektif handal bernama Maven Kline sedang melakukan pencarian ter...