"Maaf," kata Lucius dengan emosional. Air matanya mengalir dan suaranya sedikit serak. "Maaf atas semua yang sudah kulakukan padamu. Aku tak pernah bermaksud menyakitimu... kumohon percayalah padaku..."
Lucius membenamkan kepalanya lebih dekat ke pundak Maven. Ia merasa nyaman saat berada dekat dengannya. Sementara itu lengannya tetap melingkari pinggang Maven dengan erat seolah dia takut untuk melepaskannya.
Maven dapat merasakan ketulusan dalam suara Lucius, dan untuk sesaat dia terdiam karena tak pernah mengira Lucius akan minta maaf. Dia bisa merasakan napas Lucius yang hangat di kulitnya. Kini suasana di antara mereka hening. Akhirnya dia memecah kesunyian.
"Kenapa aku?" tanya Maven. Suaranya nyaris tak terdengar di tengah deru napas mereka.
"Aku sudah tertarik padamu sejak pertama kali melihatmu," katanya pelan dan sedikit serak. Dia menempelkan wajahnya ke leher Maven, lalu menghirup aromanya. "Meskipun itu artinya aku harus mengkhianati ayahku."
Maven menegang mendengar ucapan Lucius, tak mampu berkata-kata. Dia masih perang batin dengan kenyataan kalau Lucius menculiknya sekaligus mengakui perasaannya.
Suara pria itu melembut saat melanjutkan, "Lalu kadang-kadang... aku menyelinap masuk ke rumahmu hanya untuk melihatmu tidur... dan menciummu..."
Napas Maven langsung tercekat. Bayangan Lucius yang menatapnya saat tidur dan menciumnya tanpa sepengetahuannya cukup berat untuk diterima. Sejak kapan Lucius melakukan hal ini padanya secara diam-diam?
"Sudah berapa lama kau mengawasiku?" tanya Maven dengan suara gemetar karena marah dan bingung.
Lucius menghela napas berat mendengar pertanyaan Maven. "Sudah cukup lama... aku tak bisa menahan diri untuk dekat denganmu, meski harus menerobos masuk dan melihatmu tidur."
Jantung Maven berdebar kencang mendengar ucapan Lucius. Dia tak percaya Lucius memata-matainya seperti penguntit. Rasanya mengerikan, tapi di saat yang sama dia sedikit tersanjung karena Lucius berusaha untuk berada di sisinya.
"Aku tahu aku salah," kata Lucius dengan penuh penyesalan. Dia mengencangkan cengkeramannya di pinggang Maven. "Aku minta maaf karena masuk ke rumahmu tanpa izin, tapi aku tak bisa jauh darimu."
Kepala Lucius kini bersandar di bahu Maven. "Kau tahu? Sebenarnya kau orang pertama yang kusukai. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya, jadi aku tak tahu cara menunjukkan perasaanku dengan benar."
"Apa ini karena ayahmu?" tanya Maven dengan lebih lembut. Dia sedikit memiringkan kepalanya untuk menoleh ke arah Lucius. "Itukah kenapa kau belum pernah merasa seperti ini sebelumnya?"
"Ya," aku Lucius pasrah. "Ayahku sangat tegas, dan dia bilang aku tak membuatnya puas. Aku tak tahu bagaimana rasanya dicintai, jadi aku masih bingung cara memproses perasaanku sendiri."
Maven tersentak mendengar ucapan Lucius. Dia bisa melihat luka dan kesepian yang sudah lama pria itu alami. Ini tak membenarkan tindakannya, tapi memberi gambaran mengenai alasan di balik perilakunya.
Lucius dengan lembut lalu menggendong Maven melewati hutan saat mereka kembali ke vila. Tangannya kuat dan melindungi tubuh Maven meskipun udara dingin dan kegelapan menyelimuti mereka.
Ketika sampai di vila, Lucius membuka pintu dan melangkah masuk sambil menggendong Maven dengan hati-hati. Di dalam sepi, tak ada tanda-tanda keberadaan ayahnya. Lucius menghela napas lega, lalu membawa Maven ke tempat tidur dan membaringkannya.
Sejenak dia berdiri di samping tempat tidur. Matanya tertuju pada Maven dengan ekspresi tak terbaca di ruangan yang remang-remang itu. Dia pun keluar dan kembali ke kamar dengan pakaian di tangannya. "Pakai ini. Kita akan pergi dari sini."
Jeans dan hoodie Lucius bersih dan nyaman. Lucius lalu membantu Maven untuk duduk dan berpakaian. Setelah itu dengan hati-hati dia mengangkat Maven ke dalam pelukannya menuju pintu. Maven tak melawan dan protes. Tubuhnya lemas dan pikirannya masih kacau untuk merangkai kata-kata.
Lucius menurunkan Maven dengan lembut di kursi penumpang, memastikannya duduk dengan nyaman sebelum menutup pintu. Dia lalu masuk ke mobil dan menyalakan mesin. Saat mengemudi, dia melirik ke arah Maven. Dia ingin minta maaf lagi, tapi dia tahu Maven tak ingin mendengar apapun.
Jadi dia tetap fokus menyetir. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah mesin mobil dan sesekali embusan napas lembut Maven. Setelah hening beberapa saat, Lucius memecah kesunyian dengan suara pelan dan tenang
"Maven." Pandangannya beralih sebentar ke Maven sebelum kembali ke jalan. "Aku tahu kau ingin menangkap pembunuhnya... dan aku akan membantumu selama kau bersamaku."
Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "Kau berhak marah dan benci padaku, tapi kalau kita ingin menangkap pelakunya kita harus bekerja sama. Dan kau harus berada di sisiku supaya aku bisa melindungimu."
Lucius menunggu Maven merespon. Jari-jarinya mencengkeram kemudi dengan erat. Dia takut karena Maven punya alasan kuat untuk tak percaya padanya. Maven masih terdiam dengan ekspresi datar. Dia menatap ke luar jendela, menyaksikan cahaya perkotaan dan para pejalan kaki.
Untuk beberapa saat, dia tak mengatakan apapun. Lalu saat Lucius mengira Maven takkan bersuara, Maven bicara. Tatapannya masih tertuju ke luar jendela saat berkata, "Baiklah, aku akan bersamamu. Tapi karena aku ingin menangkap pembunuhnya."
"Terima kasih," kata Lucius sambil menghela napas lega, bersyukur Maven tak mendiamkannya. "Aku janji akan berusaha keras membuatmu tetap aman dan menangkap pembunuhnya."
Dia memperhatikan bahu Maven yang tegang dan rahangnya yang terkatup rapat. Maven jelas masih marah dan terluka, tapi setidaknya dia bersedia kerja sama dengannya. Dia pun memikirkan implikasi di balik ucapannya.
"Jika kau benar-benar ingin menangkap si pembunuh... kau juga akan menangkapku."
Suasananya mendadak sunyi saat Maven memikirkan ucapan Lucius. Dia jika mereka menangkap pelakunya, kemungkinan besar Lucius juga diadili sebagai kaki tangan. Namun Maven tak mengatakan apa-apa dan masih menatap jendela.
Lucius tahu kalau Maven belum memaafkannya, dan mungkin takkan pernah memaafkannya. Pemikiran jika dia kehilangan Maven dari hidupnya untuk selamanya terlalu berat untuk ditanggung.
"Maven," katanya lembut sekaligus putus asa, tak tahan jika pria itu mendiaminya. "Kumohon katakan sesuatu..."
Maven menoleh untuk melihat Lucius. Ekspresinya masih was-was dan tak dapat dibaca. Dia hanya mengamati wajah pria itu, memperhatikan kesedihan dan rasa bersalah yang tercetak di sana. "Kau mau aku bilang apa?"
"Apa saja," kata Lucius memohon. Dia menghela napas dengan berat, paham kalau Maven marah dan menjauhinya, tapi dia sedih jika pria itu mengucilkannya seperti ini. "Bicaralah padaku, Maven."
"Aku tak tahu aku harus bilang apa," kata Maven pelan, tapi ekspresinya sedikit mencair. "Aku masih marah, Lucius. Aku masih terluka dan bingung. Tapi... aku juga berusaha memahami semuanya."
Dia menarik napas dalam-dalam dan menatap Lucius sejenak sebelum akhirnya memalingkan wajahnya lagi. "Aku tak tahu kalau aku bisa memaafkanmu, tapi untuk saat ini aku bersedia kerja sama denganmu untuk menangkap pembunuhnya."
Kemudian keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Lucius lega Maven tak sepenuhnya mendiaminya, tapi dia juga waspada terhadap masa depan yang tak pasti di hadapan mereka.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Predator
Детектив / ТриллерMaven si detektif ditugaskan untuk menangkap pembunuh berantai. Dia pun menyamar sebagai murder cleaner dan mendapat klien pertamanya yaitu Lucius, pria paling ramah di kota itu. *** Detektif handal bernama Maven Kline sedang melakukan pencarian ter...