Hari itu cuacanya cerah. Matahari bersinar terik dan udaranya hangat. Maven dan Lucius berencana pergi ke kebun binatang dan kafe. Saat berjalan, Lucius melirik Maven. Rambutnya kusut karena tertiup angin.
Setelah memastikan tak ada yang melihat, Lucius mencondongkan tubuhnya dan bertanya, "Bolehkah aku mencium keningmu?"
Pipi Maven sedikit memerah saat mengangguk. Dia tak dapat menahan senyuman kecil di bibirnya. Hati Lucius pun langsung berbunga-bunga. Dengan lembut dia menyingkirkan beberapa helai rambut dari dahi Maven, lalu mengecupnya.
Jantung Maven berdebar kencang karena sikap manis Lucius. Saat melirik pria itu, dia menyadari ekspresi malu-malunya. Dia pun menggenggam tangannya, lalu meremasnya dengan lembut. Jempolnya mengusap buku jari Lucius.
Mereka kini tiba di kebun binatang. Tangan keduanya masih berpegangan erat saat menonton atraksi satwa liar. Lucius yang tak pernah pergi ke kebun binatang saat kecil langsung terpesona. Dia memperhatikan sekawanan kera dengan mata lebar karena kagum.
Saat berjalan, mereka melewati anak kecil dengan orangtuanya. Lucius memperhatikan sang ayah mengangkat anaknya supaya dapat melihat para kera lebih jelas. Diam-diam dia merasa sedikit sedih dan cemburu.
Maven sadar cengkeraman Lucius dia tangannya semakin erat. Dengan lembut dia menarik tangan Lucius menjauh dari kerumunan menuju tempat yang sepi. Dia membelai pipi Lucius dengan ekspresi khawatir.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya lembut.
Lucius mencoba menyingkirkan kesedihan di dalam hatinya. Dia tersenyum kecil, lalu mengangguk. Namun Maven tak tertipu.
"Kau bisa ceritakan padaku," katanya pelan. Air mata Lucius akhirnya mengalir. Dia mengerjapkan mata, mencoba mengendalikan emosinya.
"Aku hanya... sedih karena tak pernah ke kebun binatang dengan ayahku saat masih kecil," akunya pelan. Dia merasa kekanak-kanakan karena hal yang sepele.
"Tidak. Wajar saja kalau kau sedih." Maven menarik Lucius lebih dekat dan memeluknya erat. Lucius pun membenamkan wajahnya di leher Maven sambil berusaha menahan air matanya.
"Kita bisa makan es krim atau pakai topi kuping hewan kalau kau mau," kata Maven lembut.
Tawa kecil keluar dari mulut Lucius saat menarik diri untuk menyeka air matanya. Suaranya masih sedikit gemetar karena menahan tangis. "Benarkah?"
Maven lantas mengangguk. "Aku bahkan bakal pakai kostum hewan jika bisa membuatmu tersenyum."
Lucius lalu tertawa lagi. Ekspresi Maven semakin melembut. Hatinya meleleh mendengar suaranya. Dengan lembut dia menarik Lucius lagi ke dalam pelukannya.
Lucius kini sedikit malu. Dia mencoba bersikap tegar, tapi air matanya mengalir saat berkata, "Aku merasa bodoh dan kekanak-kanakan karena merasa seperti ini, dan aku tak ingin kau berpikir aku... entahlah, lemah atau semacamnya. Aku hanya ingin membuatmu bahagia..."
"Kau tidak bodoh atau kekanak-kanakan," kata Maven tegas. Dengan hati-hati dia menyeka air mata Lucius. "Dan berada bersamamu saja sudah membuatku bahagia lebih dari yang kau kira. Jadi jangan pernah berpikir sebaliknya."
Lucius membenamkan wajahnya di leher Maven dan menghirup aroma parfumnya. Dia tak percaya bisa menemukan seseorang seperti Maven. Diam-diam dia merasa sedikit bersalah karena sering meragukan dirinya sendiri dan apakah dia pantas mendapatkan cinta dan kasih sayang.
Namun saat Maven memeluknya erat, Lucius mendapati dirinya memercayai ucapan pria itu.
***
Begitu matahari terbenam di langit, Maven dan Lucius duduk di meja kecil di luar kafe setelah menghabiskan waktu di kebun binatang. Kafe itu cukup bagus. Terdapat untaian lampu yang tergantung di atap dan tanaman hias yang berjejer. Aroma lezat masakan serta alunan musik pun memenuhi udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Predator
Mystery / ThrillerMaven si detektif ditugaskan untuk menangkap pembunuh berantai. Dia pun menyamar sebagai murder cleaner dan mendapat klien pertamanya yaitu Lucius, pria paling ramah di kota itu. *** Detektif handal bernama Maven Kline sedang melakukan pencarian ter...