Dengan brutal, Lucius terus bergerak tanpa henti di atas Maven. Dia menikmati desahan kecil dan erangan yang keluar dari bibir dari detektif itu. Tubuh Maven tersentak setiap kali kemaluan Lucius membentur bagian dalamnya. Punggungnya melengkung tanpa sadar, membuatnya semakin gila.
Lucius yang menyadari betapa terangsangnya Maven pun tersenyum. Hentakannya semakin kasar. Dia tahu kalau Maven mulai mencapai klimaks. "Apa kau mau keluar, sayangku?"
Maven mengertakkan gigi. Kepala berputar-putar. Dia sangat terangsang sekarang, tapi dia tak mau menyerah dan membiarkan ego Lucius menang. "J-Jangan... jangan berani-beraninya kau..."
Dia bahkan tak mampu menyelesaikan ucapannya. Tubuhnya sudah diselimuti sensasi yang luar biasa. Lucius lalu mencengkeram rambut Maven dan menarik kepalanya ke belakang. Bibirnya menyentuh leher si detektif, dan deru napasnya terasa panas di kulitnya.
"Kau milikku," gumamnya dengan nada posesif, "dan akan kupastikan kau selalu mengingatnya."
Gigi Lucius lalu menghisap dan menggigit kulit sensitif Maven saat terus menyetubuhinya, meninggalkan bekas cupang yang takkan hilang selama berhari-hari. Maven mengeluarkan erangan pelan. Tubuhnya melengkung saat disentuh. Dia benci betapa nikmatnya rasanya saat ini.
"Hentikan... hentikan..." ucapnya sambil terkesiap, tapi desahannya membuktikan kalau menikmatinya tak peduli seberapa besar dia membencinya.
Lucius hanya tertawa. Bibirnya bergerak ke tulang selangka Maven. Dia pun berbisik dengan halus, "Kau tak ingin aku berhenti. Kau menikmatinya sama sepertiku, detektif. Hanya saja kau terlalu gengsi untuk mengakuinya."
"Takkan pernah..." balas Maven dengan suara tercekat. "Aku... aku takkan pernah..."
Tangan Lucius meraba dada Maven. Jari-jarinya melingkari puting Maven dan mencubit ujungnya. "Benarkah, sayang? Kurasa kau akan berubah pikiran."
"Jangan..." Pikiran Maven semakin kacau dan tubuhnya memanas. "Jangan sentuh aku... kumohon..."
Namun Lucius tak peduli dan terus memilin kedua puting Maven hingga pria itu mengerang dan menggelinjang di tempat tidur. "Bahkan tubuhmu tak bisa berbohong, detektif."
"Aku... membencimu," kata Maven putus asa, "sangat membencimu..."
Jari Lucius tak henti-hentinya memainkan puting Maven. "Tak apa, sayang. Aku tak keberatan kalau kau membenciku selama kau milikku."
Kemudian mulutnya menelusuri dada Maven, meninggalkan jejak gigitan sambil menggerakkan pinggulnya. Tubuh Maven yang gemetar tersentak setiap kali kejantanan Lucius menggempur lubang analnya.
Maven semakin mencapai klimaks, dan dia pun tak bisa menahannya lagi. Dengan rintihan keras, Maven menyerah terhadap perbuatan Lucius padanya. Dia menggeliat kenikmatan di bawah Lucius dan tak bisa menghentikan desahannya. Dadanya membusung karena hentakan kuat Lucius.
Tangan Lucius lalu mencengkeram dan meremas pinggul Maven. Gerakannya tak melambat sedikit pun. Hasratnya kian memuncak melihat tubuh Maven menggelinjang kenikmatan. Dia menghisap dan menggigit puting Maven yang membengkak untuk menandai pria itu sebagai miliknya.
Dalam satu hentakan terakhir, tubuh Maven tersentak kuat. Dia menggeliat dan mendesah keras saat akhirnya cairan sperma muncrat dari kemaluannya. Kemudian perlahan tubuhnya rileks seiring dengan sensasi kenikmatan yang menurun di dalam dirinya.
Meski begitu, Maven masih gemetar dan tersengal-sengal. Tubuhnya terlalu sensitif. Namun Lucius hanya tersenyum. Dia pun mengusap rambut Maven lembut dan menatap detektif itu dengan tatapan kagum. "Kau benar-benar cantik."
Penampilan Maven berantakan. Matanya setengah tertutup dan bibirnya sedikit terbuka. Dia benar-benar lelah secara fisik maupun mental. Akan tetapi Lucius mengelus kepala Maven dengan penuh kasih sayang. Jari-jarinya kini menelusuri wajahnya yang basah karena keringat.
Mata Maven terbuka saat disentuh. Dia pun menatap Lucius dengan lelah dan terengah-engah, masih kesulitan mengatur napas. Tubuhnya gemetar setelah mengucurkan air mani.
"Apa kau baik-baik saja, sayang?" tanya Lucius dengan suaranya yang sangat lembut, seolah-olah sikapnya yang sebelumnya berbahaya seperti predator digantikan dengan kasih sayang dan penuh cinta.
Maven hanya mengangguk, belum mampu untuk bicara. Dia terlalu kelelahan untuk merangkai kalimat. Lucius hanya tersenyum dan terus membelai rambut Maven untuk menenangkannya. "Tenang saja, sayang. Aku akan tetap di sini dan menjagamu."
Maven hanya memejamkan mata dan membiarkan dirinya dibelai Lucius karena dia tak sanggup protes. Perlahan napasnya mulai teratur, dan dia mulai terlelap. Sementara itu Lucius hanya memperhatikannya dan masih mengelus kepalanya.
"Kau aman di sini, sayang," bisik Lucius. "Selamat istirahat."
***
Beberapa jam kemudian, Maven perlahan terbangun. Matanya terbuka meski mengantuk, dan sejenak dia memfokuskan penglihatannya. Saat mengamati sekelilingnya, dia masih berada di tempat yang sama. Namun Lucius meninggalkannya sendirian di tempat tidur.
Maven sadar kalau tubuhnya sudah bersih. Dia tak lagi merasakan cairan tubuh yang lengket di kulitnya. Itu artinya Lucius pasti membersihkannya saat dia tidur. Ketika dia menggerakkan tubuhnya, tangan dan kakinya masih diikat dengan tali.
Maven menarik talinya untuk mengetes kekencangannya, tapi ikatannya sangat erat dan dia tak bisa melepasnya. Dia pun mencari Lucius dan mencoba memanggilnya, tapi tenggorokannya terasa kering. Dia menelan ludah, mencoba membasahi tenggorokannya dan berseru lagi.
"Lucius?" panggil Maven dengan serak. "Lucius, kau di mana?"
Namun tak ada sahutan. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah jarum jam di dinding. Dia memanggil lagi dengan lebih keras, tapi sama saja. Jantung Maven berdebar kencang karena gelisah. Dia mulai merasa panik karena sendirian terikat di tempat tidur.
Maven meronta-ronta, berusaha melepas talinya untuk membebaskan dirinya. Namun sekuat apa pun dia berusaha, ikatannya tak pernah mengendur. Setelah beberapa menit, dia akhirnya menyerah dan terengah-engah. Tubuhnya licin karena keringat.
Tatapannya lalu terpaku pada putingnya yang masih bengkak. Selain itu ada banyak cupang dan bekas gigitan di sekujur tubuhnya. Dengan keadaan telanjang dan terikat, dia memanggil Lucius lagi, berharap pria itu akan muncul dan melepaskan ikatannya.
Tiba-tiba suara pintu yang terbuka mengagetkan Maven. Kepalanya mendongak saat Lucius memasuki kamar dan menutup pintu. Pria itu membawa sepiring makanan dan segelas air di tangannya.
"Ah, kau sudah bangun, sayang," kata Lucius lembut. Dia menghampiri tempat tidur dan menatap detektif itu sambil tersenyum kecil. Jari-jarinya lalu memainkan rambut Maven. "Kau tidur lama sekali. Kau pasti kelelahan, ya."
Lucius pun meletakkannya di meja sebelah tempat tidur. Kemudian tatapannya kembali ke Maven. Tangannya terulur untuk mengusap bekas gigitan dan cupang di dada Maven dengan lembut tapi posesif.
"Sakit, ya? Semalam aku terbawa suasana," kata Lucius pelan. "Kau enak sekali, sayang. Sulit menahan diriku untuk menandaimu sebagai milikku."
Maven marah mendengar kata-kata Lucius, tapi dia masih terlalu lelah untuk melawan. Dia hanya menatap pria itu dengan geram. Lucius lalu tertawa. "Jangan menatapku seperti itu, sayang. Aku tahu kau menikmatinya."
***
Jika kamu menikmati ceritanya, jangan lupa untuk memberi vote.
Seperti biasa kritik, saran, atau pertanyaan bisa ditulis di kolom komentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Predator
Mystery / ThrillerMaven si detektif ditugaskan untuk menangkap pembunuh berantai. Dia pun menyamar sebagai murder cleaner dan mendapat klien pertamanya yaitu Lucius, pria paling ramah di kota itu. *** Detektif handal bernama Maven Kline sedang melakukan pencarian ter...