Part 19

930 71 4
                                    

Lucius adalah bocah kurus dengan rambut hitam acak-acakan dan mata coklat. Sebagai anak dari mantan perwira militer, dia selalu dituntut kuat dan tangguh seperti anak laki-laki lainnya. Namun tubuhnya yang kecil dan sifatnya yang sensitif menjadikannya sebagai target bullying.

Mereka sering mengejeknya karena lemah, mengambil mainan dan uangnya, dan menertawakannya. Namun Lucius tak bisa melawan mereka. Pukulan lemahnya tak sebanding dengan tubuh mereka yang besar.

Hari itu mendung. Lucius sendirian di taman bermain, duduk di ayunan dan memainkan kakinya. Lucius tak keberatan sendirian. Suasananya damai, dan dia bersenandung pelan, menikmati sensasi angin menerpa wajahnya saat mengayun ke depan dan belakang.

Namun momen itu hancur ketika sekelompok anak laki-laki muncul di taman. Mereka menyeringai saat melihat Lucius di ayunan. Bocah yang paling tinggi dan besar melangkah ke arah Lucius. "Hei, bocah. Sendirian hari ini? Di mana teman-temanmu?"

Lucius menggigit bibirnya. Tangannya mengepal ketakutan. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara itu mereka tertawa dan mengepungnya seperti kawanan serigala. Lucius menunduk, berharap bisa menghilang begitu saja.

"Aku yakin dia tak punya teman," cibir yang lainnya. "Tak ada yang mau berteman dengan anak lemah dan menyedihkan seperti dia."

Kata-katanya menusuk hati Lucius. Dia ingin melawan, tapi dia hanya bisa membeku saat anak-anak itu terus mengejek. Akhirnya Lucius mengumpulkan keberaniannya untuk bicara meski suaranya bergetar.

"Pergilah," katanya sambil melihat mereka dengan tatapan menantang. Mereka semua tertawa terbahak-bahak.

"Atau apa?" ejek bocah itu, membungkuk ke Lucius. "Apa yang akan kau lakukan? Menangis ke ibumu?"

Mata Lucius berkaca-kaca. Dia tak ingin menunjukkan kalau dia lemah, tapi dia tak bisa menahan kesedihannya saat mengingat kematian ibunya.

"Atau kau akan menangis ke ayahmu," cibir bocah itu sambil menyeringai. "Tapi aku yakin dia tak peduli karena dia benci memiliki anak yang tak berguna sepertimu."

Mereka benar. Ayahnya selalu menggangapnya sebagai beban, dan akan sangat marah jika dia melakukan kesalahan. Sikapnya juga dingin saat bicara padanya. Karenanya Lucius berpikir kalau menunjukkan perasaannya adalah kelemahan.

Suara Lucius bergetar saat dia berusaha mengendalikan emosinya. "Kubilang pergi."

Namun mereka tertawa, tak terkesan dengan perlawanan lemah Lucius. Lucius kini sedikit ketakutan. Tiba-tiba pukulan bocah itu mendarat tepat di pipi Lucius, menjatuhkannya dari ayunan. Rasanya sangat menyakitkan.

"Jangan macam-macam kau," ancam anak itu. Tubuhnya menjulang tinggi di hadapan Lucius.

Lucius terbaring di tanah. Air matanya mengalir saat pipinya berdenyut nyeri. Dia bisa merasakan tatapan mereka tertuju padanya dan ejekan yang memenuhi pendengarannya.

"Kenapa?" tanya anak itu mengejek sambil menendang dada Lucius dengan kakinya. "Tak bisa bangun?"

Mereka semua menikmati pemandangan Lucius tergeletak di tanah dalam keadaan memar. Yang lainnya lalu menendang perut Lucius hingga membuatnya kesakitan. Tendangannya kuat dan brutal, membuat Lucius nyaris pingsan.

"Dasar lemah dan penakut," kata anak itu sambil menendang Lucius lagi. "Kau bahkan tak bisa membela dirimu sendiri."

Lucius meringkuk. Sekujur tubuhnya berdenyut nyeri. Pukulan dan tendangan terus menghujani dirinya sampai terkesiap sakit dan menangis pilu. Dia mengertakkan gigi dan berusaha menahan air matanya yang terus mengalir di pipinya.

Mereka terus terus mengejek dan memukuli Lucius, tapi dia terlalu takut untuk melawan. Jadi dia hanya meringkuk dengan gemetar. Mereka akhirnya bosan dan memutuskan pergi. Lucius terbaring di tanah yang keras untuk waktu yang lama. Tubuhnya sakit dan memar.

Lucius terlalu lelah untuk melakukan apapun selain menatap langit, tapi dia harus pulang ke rumah. Sambil mengerang, Lucius merasakan sakit setiap kali bergerak. Dia pun terhuyung-huyung dan berdiri, tak peduli betapa nyerih tubuhnya.

Sambil tertatih-tatih pulang, Lucius berusaha menahan air mata yang akan tumpah lagi di pipinya. Dia benci betapa lemah dan menyedihkannya dirinya, dan dia juga benci pada ayahnya yang selalu keras padanya. Namun dia tak punya tempat lain untuk dituju.

Saat  sampai di rumah, Lucius merasa lebih lelah dan terluka dibandingkan sebelumnya. Dia berusaha menutupi pipinya yang memar dan berharap suasana hati ayahnya sedang baik hari ini. Namun dia melihat ayahnya duduk di sofa dengan koran di tangannya.

"Dari mana saja kau?" tanya ayahnya dengan tajam. "Ayah sudah bilang jangan pulang larut malam."

"M-maaf, ayah," gumam Lucius sambil tetap menatap ke tanah. Dia menelan ludah. Dadanya terasa sesak.  "Aku lupa waktu."

Mata ayahnya menyipit saat melihat penampilan Lucius. Tatapannya tertuju pada pipinya yang memar dan caranya berjalan. "Ada apa dengan wajahmu? Dan kenapa kau pincang? Apa kau berkelahi?"

Lucius tak bisa bilang kalau dia dipukuli. Lagipula ayahnya takkan peduli, dan kemungkinan besar dia akan dimarahi.

"A-aku jatuh saat pulang," kata Lucius berbohong dan berusaha tetap tenang.

Ayahnya menatapnya dengan ragu. "Kau pikir ayah percaya? Jalanmu bahkan pincang."

Lucius sedikit sakit hati mendengar kata-kata ayahnya, tapi dia tetap menundukkan kepala dan diam saja. Ayahnya lalu mendengus dan kembali melihat korannya. "Kau menyedihkan, tak bisa melawan. Bagaimana saat kau besar nanti?"

Lucius tersentak mendengar kata-kata ayahnya. Dia tak bisa menyangkal karena dia tahu keadaannya akan semakin buruk. Jadi dia hanya berdiri dengan tubuh yang sakit dan hati yang terluka.

"Masuk ke kamarmu," kata ayahnya tanpa memalingkan tatapan dari koran. "Ayah tak ingin melihatmu sampai besok."

Lucius lalu berbalik dan menaiki tangga dengan susah payah. Begitu di kamarnya, dia menghela napas gemetar dan ambruk ke tempat tidurnya karena kelelahan. Dengan hati-hati dia menyentuh pipinya yang memar dan bengkak, lalu meringis. Air matanya pun menggenang.

Dia berbaring di tempat tidur untuk waktu yang lama. Dia benci hidupnya, benci ayahnya dan para pembully di sekolahnya. Dia hanya ingin pergi ke tempat di mana dia bisa merasa aman dan dicintai. Namun Lucius tahu bahwa tak ada jalan keluar.

Ini adalah hidupnya, kenyataannya, dan dia harus mencari cara untuk bertahan hidup.

***

Bertahun-tahun kemudian, Lucius tumbuh menjadi pria dewasa. Dia berlatih keras di gym dan membentuk tubuhnya hingga kekar. Selain itu, dia juga belajar teknik tinju serta seni bela diri untuk mengasah keterampilannya.

Sebagai pensiunan perwira militer, ayah Lucius mengajari putranya dengan kedisiplinan sejak kecil. Lucius menjalani latihan yang tak terhitung dan belajar mematuhi perintah ayahnya. Dia juga diajari cara menembak dan menggunakan berbagai senjata.

Lambat laun Lucius menyadari kalau ayahnya tak pernah melihatnya sebagai anak yang harus disayangi, melainkan menganggapnya sebagai alat demi mencapai tujuannya sendiri, yaitu balas dendam.

***

Jika kamu menikmati ceritanya, jangan lupa untuk memberi vote.

Seperti biasa kritik, saran, atau pertanyaan bisa ditulis di kolom komentar.

Perfect PredatorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang