Maven segera menghubungi Jason. Saat ponselnya berdering, dengan tak sabaran dia terus menghentakkan kakinya. Akhirnya Jason mengangkat panggilan. "Hei, ada apa?"
"Aku ingin minta tolong," kata Maven, terdengar mendesak. "Apa kau ingat pria yang kau dan Charlie tahan karena hampir menyerang temanku di restoran semalam?"
"Ya, memangnya kenapa?" tutur Jason kebingungan. "Dia ditahan sampai tadi pagi, lalu dibebaskan. Kenapa kau menanyakannya?"
"Apa kau memeriksa kartu penduduk atau informasi tentangnya?" tanya Maven, berusaha terdengar tenang.
"Aku dan Charlie mengecek latar belakangnya seperti biasa. Tak ada catatan kriminal dan hanya punya gangguan kesehatan mental, jadi tak ada alasan kuat untuk menahannya lebih lama. Kenapa kau jadi tertarik padanya?" Jason kini balik bertanya.
Detak jantung Maven berpacu saat mencoba menyatukan informasi-informasi yang baru saja dia dapatkan. "Tenang dulu. Apa kau sempat memindai sidik jarinya? Kalau iya, bisakah kau mengirimnya padaku?"
Ada jeda di seberang sana sebelum Jason akhirnya berkata lagi, masih terdengar bingung. "Oke akan kukirim, tapi sebenarnya ada apa, sih?"
"Aku hanya ingin memastikan beberapa hal, jadi akan kujelaskan padamu nanti. Untuk saat ini, kirim saja file-nya secepat mungkin, oke?" kata Maven yang mulai memikirkan beberapa kemungkinan.
"Baiklah, terserah kau saja," kata Jason. "Akan segera kukirim, tapi kau harus menjelaskan semuanya padaku nanti."
"Terima kasih," ucap Maven dengan lega. Dia pun mengakhiri panggilan. Jantungnya berdebar kencang saat menunggu file cetakan sidik jari pria itu.
Selagi menunggu, Maven kembali memikirkan Lucius. Bagaimana reaksinya saat tahu kalau pria yang menyerangnya semalam kini tewas secara mengenaskan? Apa benar kalau dia yang diam-diam memperbaiki ban mobilnya? Saat bertanya-tanya, dia malah semakin kebingungan.
Kemudiam ponselnya berbunyi karena pesan dari Jason. Maven segera membukanya dan melihat file yang terlampir yaitu hasil scan sidik jari pria itu. Sidik jarinya jelas dan detail. Dengan cepat dia mulai membandingkannya dengan foto-foto di TKP.
Foto sidik jari dari lokasi TKP dilumuri noda darah sehingga sulit untuk melihat detailnya dengan jelas, tapi dia bertekad untuk mencari tahu apakah keduanya sama persis. Maven mengamati hasil cetakan sidik jari dari Jason, memperhatikan polanya yang unik. Kemudian dia melihat foto sidik jari dari TKP, berusaha mencocokkannya satu sama lain.
Baginya membandingkan guratan sidik jari secara manual cukup melelahkan, tapi Maven takkan menyerah. Dengan cermat dia mencoba mencari kesamaan kalau kedua sidik jari itu milik orang yang sama. Akhirnya setelah berjam-jam membandingkan kedua sidik jari itu, hasilnya...
Cocok! Sidik jari si pria yang ditangkap Jason dan mayat di TKP adalah milik seseorang yang sama. Sudah jelas korbannya adalah pria yang tiba-tiba masuk ke restoran dengan pisau semalam. Pantas saja Maven merasa familier saat melihat bekas luka bakar itu. Kini dia punya bukti nyata untuk memperkuat dugaannya.
Maven langsung menoleh saat mendengar suara langkah kaki. Dua petugas polisi yang sebelumnya ditugaskan untik mencari rekaman kamera pengawas di sekitar daerah itu sekarang menghampirinya.
"Kami sudah memeriksa CCTV terdekat, dan kau harus melihatnya," kata salah satu petugas, lalu menampilkan sebuah rekaman di laptop. "Coba perhatikan."
Maven mendekat dan mengamati rekaman itu dengan serius. Saat itu masih dini hari, hampir sekitar jam enam. Tempat itu masih sepi dan remang-remang. Kemudian terlihat seorang pria yang mengenakan topi dan mantel untuk menyembunyikan jati dirinya.
Maven memicingkan mata, berusaha mengenali sosok itu. Meskipun rekamannya cukup buram, dia langsung tahu kalau itu pria yang hampir mencelakai Lucius di restoran. Kedua polisi itu memandang Maven. "Itu orang yang Jason tangkap tadi malam, kan?"
Maven mengangguk. "Benar, tapi pertanyaannya..."
"Dia pergi ke mana setelah dibebaskan?" sambung salah satu petugas, menyelesaikan ucapan Maven.
"Kita harus mencari tahu," kata Maven. Tatapannya masih terpaku pada layar laptop. "Cari dan periksa semua rekaman CCTV di area tersebut. Aku ingin tahu tempat yang dikunjungi korban setelah keluar dari kantor polisi."
Para petugas mengangguk dan pergi, sementara tim forensik dan beberapa polisi baru tiba di TKP. Maven berpikir sejenak. Dia sudah menemukan sedikit petunjuk mengenai identitas korban. Namun ternyata situasinya lebih rumit dari yang dia kira.
***
Maven dan para petugas polisi menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengumpulkan dan mengamati beberapa rekaman CCTV di area sekitar TKP, mencari tanda-tanda keberadaan korban. Punggungnya kini terasa nyeri karena terlalu lama membungkuk di depan komputer, tapi dia enggan untuk istirahat.
Saat dia mengamati beberapa rekaman kamera pengawas dengan tim penyelidik, salah satu petugas tiba-tiba menghampirinya. "Maven, ada yang menunggumu di luar."
Alis Maven terangkat karena kebingungan. Dia mengalihkan tatapannya dari layar komputer. "Siapa?"
"Lucius, pria yang sering melakukan penggalangan dana di gereja," jawab petugas itu. "Dia bilang dia ingin menemuimu."
Begitu Maven keluar pintu kantor polisi, dia melihat Lucius yang berdiri di dekat mobilnya di parkiran. Ketika melihat Maven mendekatinya, senyuman lebar tersungging di bibirnya. Dia pun berjalan ke arah Maven dengan gontai.
"Maven," katanya, terdengar hangat. "Senang bertemu denganmu lagi."
Maven membalas senyumannya meski masih sedikit terkejut dan penasaran. Dengan was-was, dia bertanya, "Lucius, kenapa kau ke sini?"
Lucius mengangkat bahu, masih terlihat santai. "Ah, aku baru saja pulang dari kantorku, jadi aku sekalian mampir untuk bertemu denganmu."
Maven tak bisa mengeyahkan rasa gelisah di hatinya. Kenapa Lucius selalu saja membuatnya tak berkutik? Masih dengan nada datar, dia membalas, "Aku cukup sibuk hari ini. Apa ada yang ingin kau bicarakan denganku?"
"Kau selalu sibuk, ya?" tutur Lucius, lalu terkekeh pelan. Tatapannya tak pernah lepas dari Maven. Dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, dan Maven menahan diri untuk mundur selangkah.
Maven berusaha tetap tenang, tapi cara Lucius menatapnya membuat bulu kuduknya berdiri. Suaranya terdengar sedikit tajam saat berkata, "Apa yang kau inginkan?"
Lucius tertawa lagi, terlihat tak peduli dengan nada bicara Maven. Senyumnya masih terlihat di wajahnya. "Kalau begitu aku akan ke intinya saja."
Lucius berhenti sejenak, dan Maven menyadari bahwa tatapan pria itu berubah, tampak lebih dalam dan intens. Dia mulai mendekat, membuat Maven mau tak mau melangkah mundur.
***
Catatan kaki:
Fingerprint analysis adalah ilmu forensik yang mempelajari sidik jari. Studi ini menggunakan beberapa metode seperti fingerprint imaging dan comparative analysis untuk mengindentifikasi serta mengklasifikasi sidik jari manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Predator
Mystery / ThrillerMaven si detektif ditugaskan untuk menangkap pembunuh berantai. Dia pun menyamar sebagai murder cleaner dan mendapat klien pertamanya yaitu Lucius, pria paling ramah di kota itu. *** Detektif handal bernama Maven Kline sedang melakukan pencarian ter...