Part 10

1.3K 109 3
                                    

Maven akhirnya sampai di rumah. Dia ambruk ke sofa dan menutup matanya, tapi pikirannya terus kembali ke informasi tentang William Carter.

Saat bangkit dari sofa, dia menyadari sesuatu. Jendelanya berderit pelan. Dia menghampiri jendela untuk memeriksanya lebih dekat. Pengaitnya sepertinya rusak, dan ada tanda-tanda dibobol secara paksa. Dia langsung merasa cemas saat memikirkan kemungkinan terburuk.

Maven mulai melihat sekeliling rumahnya untuk memeriksa apakah ada barang berharga yang hilang, tapi sepertinya tak ada yang dicuri. "Jika memang benar ada yang masuk ke sini, apa yang orang itu cari? Apa mungkin ada kaitannya dengan kasus yang sedang kuselidiki?"

Maven pun menggunakan kemampuannya sebagai detektif. Dia memeriksa jendelanya yang rusak dan mencari petunjuk melalui sidik jari di jendela dan sekitarnya. Dia juga mencari helai rambut yang mungkin tertinggal atau bukti lain yang bisa mengungkapkan identitas si penyusup.

Setelah itu Maven memeriksa pintu dan semua jendela, memastikan semuanya aman dan terkunci. Begitu selesai menggeledah rumahnya, dia merasa seolah-olah sedang diawasi seseorang. Dia pun memutuskan untuk memasang beberapa kamera pengintai dan mengamati aktivitas mencurigakan di sekitar rumahnya.

Maven terlalu lelah saat ini, jadi dia memutuskan untuk memperbaiki jendelanya yang rusak besok. Untuk saat ini dia hanya mengamankannya dengan kunci tambahan. Meski kelelahan, dia memilih untuk begadang dan menonton rekaman kamera pengawas yang sudah terpasang.

Maven duduk di depan komputernya sambil memakai kacamata dan menyesap kopi. Sejauh ini semuanya tampak normal. Setelah beberapa jam berlalu, dia akhirnya mengantuk dan menelungkupkan kepalanya di meja ruang kerjanya.

***

Lucius terlihat frustasi saat bercakap-cakap dengan seseorang di telepon. Mereka sedang mendiskusikan rencana mereka. Namun karena tak berjalan sesuai keinginan orang itu, mereka harus membuat rencana baru. Lucius tak setuju dengan permintaan orang itu, tapi sepertinya tak ada pilihan lain.

"Ya, aku tahu," kata Lucius. "Aku paham kita harus menyelesaikan masalah ini. Mayatnya sudah kutangani. Kau bisa melakukan apapun sesuai keinginanmu untuk balas dendam, tapi aku ingin berhenti."

Suara sosok itu terdengar melalui ponsel Lucius, tegas dan memerintah. "Aku tak sengaja membunuhnya, oke? Dan aku tak peduli jika kau tak setuju atau ingin berhenti. Kau harus patuh padaku."

"Baiklah... tapi bagaimana dengan... Maven Kline?" tanya Lucius hati-hati.

Sejenak hening, kemudian orang itu menjawab, "Sudah kubilang kau harus mengatasi masalah ini, tapi apa yang kau lakukan? Sekarang dia dan para cecunguknya menyelidiki adiknya William. Kau harus membereskan hal ini secepatnya."

Ekspresi Lucius berubah dingin saat mendengarnya. Dia tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi. "Membereskan seperti apa?"

Suara itu terdengar lagi di seberang telepin. "Kau tahu maksudku. Singkirkan dia. Lenyapkan tubuhnya."

"Aku tak bisa membunuhnya," balas Lucius tegang. Tangannya mengepal. "Kau sudah janji padaku untuk membiarkanku melakukan apa yang kuinginkan setelah aku menuruti perintahmu, dan yang kumau adalah Maven."

"Tidak sampai tujuanku berhasil. Aku takkan membiarkan siapapun menggagalkan rencanaku," tukas orang itu keras kepala. "Dan kau... yang benar saja, Lucius. Kau menyukai detektif sialan itu? Dasar tolol. Jangan berani-beraninya mencampurkan perasaan pribadimu ke dalam urusanku. Kau harus menyingkirkannya atau aku yang akan melakukannya."

Lucius menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Aku akan melenyapkannya, seperti yang kau inginkan."

"Bagus," kata orang itu puas. "Jangan kecewakan aku."

Kemudian panggilan terputus. Lucius mengatupkan rahangnya. Ekspresinya berubah marah. "Dasar berengsek. Memuakkan sekali bajingan tua itu. Aku takkan menyakiti Maven. Aku tak bisa."

Lucius tahu betapa kecewa dan marahnya orang itu jika dia menolak menuruti perintahnya, tapi dia masa bodoh. Sekarang dia hanya peduli pada Maven. Dengan begitu dia pun menyiapkan barang yang diperlukan untuk melihat Maven seperti biasanya. Namun kali ini dia takkan menahan hasratnya lagi.

***

Lucius berdiri di luar rumah Maven. Dia sangat merindukan pria itu setelah dua hari tak bertemu dengannya. Dia mendekati jendela untuk menyelinap masuk. Namun dia sadar bahwa jendelanya ditutup dengan kunci tambahan. Dia mengerutkan kening, merasa kecewa sekaligus sedikit khawatir.

Lucius bergumam sambil memeriksa jendela, "Sial. Maven pasti sudah sadar kalau jendelanya rusak. Kuharap dia tak tahu kalau itu karena aku."

Lucius mencoba membuka paksa jendela itu, tetapi kuncinya terlalu kuat. Dia mengumpat pelan dan mulai merasa frustrasi. Sebelum memutuskan langkah selanjutnya, dia melihat sekeliling memastikan tak ada siapapun.

Lucius mencari celah untuk masuk ke dalam rumah tanpa membangunkan Maven, tapi semuanya terkunci rapat. Kini dia mulai kesal. Dia sangat ingin melihat Maven, tapi sepertinya pria itu lebih was-was malam ini.

Lucius mencoba mengintip melalui jendela yang ditutup tirai. Dari dalam tak ada sinar yang memancar ke luar. Itu artinya Maven mungkin sudah tidur. Memikirkan sang detektif yang berbaring di kasur membuat hasratnya untuk melihatnya meski hanya sesaat. Dia berharap bisa melihat sekilas sosok Maven, tapi nihil.

"Aku hanya ingin bertemu denganmu," bisik Lucius. Nada suaranya penuh kerinduan. Dia menyentuh jendela, merasakan dinginnya kaca itu di kulitnya.

Lucius pun pergi dan mencari alat yang bisa digunakan untuk membuka pintu tanpa membangunkan Maven. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan lockpick dan mulai mengutak-atik kunci pintu. Kemudian terdengar bunyi klik kecil dan pintu pun terbuka. Dia menyeringai puas, lalu masuk ke dalam.

Maven tertidur di ruang kantornya. Kepalanya bertumpu pada lengannya di atas meja. Kacamatanya miring dan rambutnya acak-acakan. Kopinya yang tersisa setengah kini sudah dingin. Satu-satunya cahaya di ruangan itu berasal dari lampu meja.

Setelah mencari Maven di rumah itu, Lucius diam-diam melangkah masuk ke ruang kerja. Suara langkah kakinya nyaris tak terdengar. Dia mendekati sosok Maven yang tertidur. Hasratnya kini sedikit terpancing. Dia ingin menyentuh Maven, tapi dia harus berhati-hati agar tak membangunkannya.

Lucius mengeluarkan sebotol kecil obat bous dari saku jaketnya. Dia tak punya pilihan selain menggunakannya pada Maven demi kebaikannya sendiri. Dia berlutut di samping Maven yang tertidur. Sejenak dia mengangumi wajah tampan Maven. Lalu dia membuka tutup botol obat bius dan menuangkan sebagian ke saputangannya.

Saat Lucius hendak menutup mulut Maven dengan saputangan, pria itu langsung terbangun. Dengan cepat dia meraih pergelangan tangan Lucius, mencegahnya untuk membiusnya menggunakan teknik pertahanan diri. Tanpa Lucius ketahui, Maven sebetulnya berpura-pura tidur dan menunggu kesempatan untuk menyerangnya.

Lucius sangat terkejut karena Maven mampu menghentikannya memberikan anestesi. Dia tak mengira pria itu pura-pura tidur. Dia memandang Maven dengan kagum, terkesan dengan refleks cepat dan kemampuan bela dirinya.

Namun Maven memandang Lucius dengan tajam. "Lucius... apa yang kau lakukan di sini?"

***

Perfect PredatorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang