Part 22

748 56 2
                                    

Ayahnya Lucius menatap Sam tajam. Dengan nada mengancam, dia berkata, "Ada urusan yang belum kita selesaikan."

Ekspresi Sam bercampur antara ketakutan sekaligus pantang menyerah. Dia mencoba bicara, tapi ayah Lucius membungkam mulutnya dengan tangan. Selain itu kekuatannya tak sebanding dengan ayahnya Lucius.

Segalanya terasa cepat saat Lucius berdiri di sana, membeku karena terkejut, saat melihat ayahnya menyiksa Sam hingga tewas. Perutnya mendadak mual, dan suaranya bergetar saat berbisik, "Ayah membunuhnya..."

Ayah Lucius menoleh ke arahnya dengan tenang hampir tanpa ekspresi. "Mau bagaimana lagi? Dia ancaman bagiku."

Lucius menatap ayahnya, masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia belum pernah melihat ayahnya bertindak begitu brutal sebelumnya. Dia tak ingin terlibat dalam hal ini, tapi di sinilah dia, menyaksikan pembunuhan dan tak bisa melakukan apapun untuk menghentikannya.

Dia ingin mengatakan sesuatu pada ayahnya, tapi suaranya seolah-olah tersangkut di tenggorokannya, dan yang bisa dia lakukan hanyalah berdiri memandangi ayahnya membersihkan bukti kejahatannya.

"Suka atau tidak, kau terlibat bersamaku, dan kau sudah tahu terlalu banyak, jadi kau harus membantuku menutupinya," kata ayahnya seakan bisa membaca pikiran Lucius.

Lucius merasa marah, ketakutan, dan pasrah saat mendengarnya. Ayahnya benar, dia tak bisa mundur begitu saja. Tangan Lucius sedikit gemetar saat membantu ayahnya membersihkan TKP. Namun dia berusaha tetap terlihat tenang karena tak punya pilihan meski dalam hati dia merasa jijik.

Tangannya bergerak secara efisien saat membantu ayahnya menutupi bukti kejahatan, termasuk membersihkan darah dan jejak DNA supaya tak ada yang bisa melacak mereka. Dia mencoba mengenyahkan pikirannya, tapi tak bisa menghilangkan rasa mual dan ngeri yang menumpuk di dalam dirinya.

Saat melenyapkan barang bukti, Lucius tak menyadari sepotong kain seragam militer di saku jaket Sam. Kemudian Lucius membeli bahan-bahan untuk melenyapkan mayatnya sementara ayahnya menunggu di tempat. Saat dia kembali, tiba-tiba mereka mendengar suara langkah kaki di kejauhan.

Baik Lucius maupun ayahnya langsung mematung. Dengan cepat mereka memutuskan untuk bergegas melarikan diri menuju mobil sebelum ketahuan. Saat duduk di dalam mobil, Lucius dan ayahnya sama-sama terengah-engah. Setelah mengatur napas, mereka mendiskusikan rencana.

Lalu mata mereka melebar ketika mendengar sirene polisi. Mayat tersebut pasti sudah ditemukan dan dilaporkan ke pihak berwenang. Jantung Lucius berdebar kencang ketika menyadari bahwa mereka berada dalam masalah serius. Dia memandang ayahnya, tapi ekspresinya tetap tenang seolah sudah memprediksi hal ini akan terjadi.

Ekspresi ayah Lucius masih tak berubah. Lalu dia berkata, "Tetap di sini."

Lucius mengangguk, memperhatikan ayahnya keluar mendekati petugas polisi dan TKP. Di dalam mobil, dia menunggu dengan cemas. Kemudian ayahnya kembali ke mobil. Lucius segera bertanya, "Apa kata polisi?"

"Polisi sedang menyelidiki lokasi TKP sekarang," kata ayahnya. "Tapi sepertinya mereka belum menemukan petunjuk."

Lucius lega saat mendengar kata-kata ayahnya, tapi polisi pasti akan mencari tersangka. Mobil mereka lalu pergi hingga akhirnya berhenti di rumah Lucius. Ayahnya menoleh padanya. "Kita harus berhati-hati. Tetaplah di rumah dan jangan pergi ke mana pun atau mengatakan hal ini pada siapa pun. Mengerti?"

Lucius mengangguk. Dia sudah terbiasa mengikuti perintah ayahnya, tapi situasi ini lebih berbahaya dan menakutkan dari yang pernah dia alami sebelumnya. Setelah mobil ayahnya pergi, dia masuk dan menutup pintu. Dia pun bertanya-tanya apakah Maven dan timnya sudah mulai menyelidiki TKP.

Setelah beberapa saat, Lucius tak bisa berdiam diri lebih lama lagi. Dia memutuskan untuk membuat sandwich demi mengalihkan perhatiannya. Dka teringat peringatan ayahnya untuk tetap di rumah. Namun dia tak bisa menahan keinginannya untuk bertemu Maven meski pergi ke kantor polisi sangat berisiko.

Dia merasa senang ketika melihat Maven, tapi detektif itu tampak dingin dan waspada. Hal itu membuatnya sedikit kecewa. Namun obsesinya terhadap detektif itu semakin kuat, dan pikiran tentang pembunuhan itu memudar di kepalanya. Pada saat itu baginya hanya ada Maven. Hasratnya semakin besar untuk menjadikannya miliknya.

Saat Lucius kembali ke rumah, ayahnya sudah menunggunya. Dia langsung sedikit ketakutan dan bertanya-tanya apakah ayahnya tahu kalau dia ke kantor polisi dan menemui Maven. Dia mencoba terlihat tenang, tapi jantungnya berdebar kencang.

Ayahnya bertanya, "Dari mana saja kau?"

"Hanya keluar sebentar," kata Lucius,  berharap ayahnya tak menyadari suaranya yang gemetar.

Mata ayahnya menyipit karena curiga, tapi dia tak bertanya lebih jauh. Lucius lalu menyadari koper di sebelah ayahnya. Saat koper itu dibuka, bau menyengat memenuhi udara. Lucius menutup hidungnya, dan perutnya mual. Sekilas terlihat tubuh pria yang mulai membusuk.

"Bantu aku menyingkirkannya," kata ayahnya tanpa basa-basi.

Lucius tak percaya ayahnya bisa begitu dingin saat mengatakan hal itu. Dia merasa muak dengan nada bicaranya yang biasa-biasa saja. Ayahnya menyadari ekspresinya, tapi sepertinya dia tak peduli. Kemudian dia pergi lagi, meninggalkan Lucius sendirian dengan isi koper yang mengerikan itu.

Lucius lalu membawa mayat itu ke ruang bawah tanah yang dipenuhi perabotan terbengkalai karena lama tak digunakan. Dia meletakkan mayat itu dengan hati-hati di lantai. Perasaannya sedih saat melihat tubuh tak bernyawa yang tergeletak di hadapannya.

Tiba-tiba dia teringat daftar nama yang diberikan ayahnya dan mencoba menebak nama mayat itu. Namun dia melempar kertas itu ke lantai karena frustasi. Dibiarkannya mayat itu tergeletak di gudang saat dia menyusup ke rumah Maven seperti biasa.

Namun karena tak tahan satu rumah dengan mayat, dia memutuskan untuk menyewa jasa murder cleaner. Cairan darah jasad itu masih merembes dari tubuhnya meski sudah tak bernyawa.

Saat bel berbunyi, Lucius membuka pintu dan berhadapan dengan pria tegap yang wajahnya ditutupi masker dan tangannya menggunakan sarung tangan.

Rasanya dia seperti mengenali pria itu. Meski dia sudah berusaha basa-basi, dia tetap tak yakin. Begitu pria itu selesai membersihkan darah dan pergi, Lucius mulai menyiapkan bahan dan alat yang diperlukan untuk memutilasi mayatnya, kemudian membuangnya ke danau.

Lucius benci dipaksa membantu ayahnya. Dia sedikit rindu dengan Maven, tapi dia tak bisa melihatnya karena harus membuang mayat itu. Kemudian dia menelepon ayahnya untuk mengatakan kalau dia tak mau terlibat lebih jauh dalam rencana ayahnya.

Seperti yang dia duga, ayahnya kesal dan marah begitu mendengarnya. Dia langsung menyadari perasaan Lucius terhadap Maven dan menyuruhnya untuk menyingkirkannya. Namun diam-diam Lucius menolak usulan tersebut dan memutuskan untuk menculik Maven.

Dia berharap bisa pergi dari ayahnya sejauh mungkin. Meskipun keputusannya bisa mempersulit keadaan, dia tak bisa menahan diri untuk memberontak dan terlepas dari belenggu ayahnya demi memulai kehidupan dengan pria yang dicintainya.

Setelah bercinta dengan Maven, Lucius mengaku telah menculik Maven melalui telepon dan bersikeras ingin bersamanya. Ayahnya marah, tapi Lucius takkan mundur. Meski dia membahas rencananya untuk menyerang temannya, Lucius mengabaikan kata-katanya.

Dia sudah muak dengan sikap ayahnya yang manipulatif, jadi dia segera mengakhiri panggilan. Namun entah bagaimana ayahnya bisa menemukan tempat persembunyiannya dengan Maven. Hal itu membuatnya bertekad untuk menemui ayahnya demi mengakhiri segalanya.

***

Perfect PredatorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang