Part 25

1K 64 3
                                    

Saat ini Lucius berada di ruang sidang. Ayahnya dan Charles duduk di sampingnya. Di hadapan mereka ada hakim wanita berjubah hitam yang menatap mereka dengan tegas melalui kacamatanya. Seorang jaksa yang merupakan laki-laki jangkung berdiri menghadap hakim.

"Kami di sini hari ini untuk menangani tiga kasus pelaku kriminal. Yang pertama adalah kasus Andrew Wolfe. Tuan Wolfe, Anda dituduh melakukan pembunuhan atas nama William Carter, Sam Carter, dan Jason Weston," kata jaksa sambil menatap Andrew dengan tajam.

"Penggugat memiliki bukti untuk mendukung pernyataan ini," katanya sambil menunjuk tumpukan dokumen di mejanya. "Kami akan memberikan bukti serta keterangan saksi."

"Bagaimana pembelaan terdakwa?" tanya hakim dengan ekspresi tegas saat menatap Andrew. Pria itu melirik pengacaranya, lalu pengacara itu membungkuk dan berbisik padanya. Sesaat kemudian, Andrew berdeham dan berseru, "Saya mengaku bersalah."

Lucius sedikit terkejut. Dia tak mengira ayahnya akan mengakui kejahatannya secepat itu. Emosinya kini campur aduk. Terlepas dari kekurangannya, ayahnya tetaplah ayahnya. Hakim lalu mengetukkan palunya, membuat ruang pengadilan itu kembali hening.

"Pengakuan bersalah dimasukkan ke dalam catatan," katanya sambil menulis sesuatu pada selembar kertas. "Sidang akan lanjut ke putusan sanksi."

Jaksa berdiri sekali lagi. "Yang Mulia, penggugat menuntut hukuman maksimal atas kejahatan ini. Terdakwa dituduh melakukan tindakan pembunuhan disengaja. Penggugat meminta hakim mempertimbangkan hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan bebas bersyarat."

Andrew protes, tapi sang hakim tetap tenang. "Penasehat hukum, Anda boleh mengajukan tuntutan."

Pengacara Andrew mendekati podium. "Yang Mulia, klien saya memang bersalah atas tuduhan pembunuhan. Namun dengan hormat kami meminta pengadilan untuk mempertimbangkan pekerjaannya sebagai dokter serta kontribusinya pada masyarakat."

"Yang Mulia, saya mohon hakim mempertimbangkan kejahatan yang telah dilakukan terdakwa. Kasus pembunuhan dilakukan secara sengaja," kata Jaksa, "penuntut merasa keadilan dapat ditegakkan dengan hukuman yang paling berat. Dalam kasus ini yaitu penjara seumur hidup tanpa kemungkinan bebas bersyarat."

"Setelah pertimbangan yang cermat, sidang memutuskan terdakwa bersalah atas tuduhan pembunuhan dan tak punya pilihan selain menghukum terdakwa dengan hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan bebas bersyarat." Hakim mengetukkan palunya lagi. "Hukuman telah ditetapkan. Terdakwa akan segera ditahan."

Dua petugas polisi menghampiri ayah Lucius dan membawanya pergi. Untuk sesaat Lucius kasihan pada ayahnya. Namun dia harus menerima akibatnya. Ayahnya akan menghabiskan sisa hidupnya di penjara dan takkan pernah bebas lagi. Charles yang mendengarnya tersenyum lebar.

Hakim lalu memandang Charles. "Charles Weston, Anda dituduh melakukan pembunuhan. Bagaimana Anda mengajukan pembelaan?"

Charles, dengan tatapan meremehkan, menjawab dengan arogan, "Tidak bersalah."

Tatapan hakim tertuju pada Charles dengan tajam. "Baik. Jaksa akan mengajukan bukti-bukti selama persidangan."

Jaksa memberikan bukti termasuk sampel DNA, foto korban, dan keterangan saksi. Bukti yang memberatkan Charles sangat banyak. Tak mungkin dia dinyatakan tak bersalah.

"Charles," kata hakim dingin. "Bukti tuduhan pembunuhan yang diajukan jaksa sangat kuat. Apa Anda bisa memberikan penjelasan atau pembelaan atas tindakan Anda?"

Charles akhirnya berkata, "Saya tak bersalah dan tak melakukan apa pun."

"Bersalah atau tidaknya Anda ditentukan melalui bukti," kata hakim tegas.

Charles hanya mengangkat bahu dengan ekspresinya angkuh. "Aku akan menyewa pengacara termahal."

Hakim menatap Charles dengan tajam. "Terlepas dari pengacara Anda atau koneksi Anda, hukum akan berjalan sebagaimana mestinya, dan hakim akan memutuskan nasib Anda. Sidang Anda akan dimulai dua minggu lagi, Tuan Weston. Bersiap-siaplah."

Charles hanya menyeringai sombong. Ketika dia dibawa pergi, ekspresi puas dan sikap arogan pria itu membuat Lucius merinding.

Hakim kini mengalihkan perhatiannya ke Lucius. Ruangan menjadi sunyi saat jaksa melanjutkan. "Lucius Wolfe dituduh membuang jenazah Jason Weston secara ilegal dan melakukan beberapa kejahatan serius, termasuk masuk tanpa izin, penculikan, dan pemerkosaan."

Jaksa berdiri dan mulai memaparkan bukti Lucius membobol rumah Maven dan penculikan melalui kamera pengawas, serta sisa jasad Jason yang ditemukan di danau. Para hadirin tersentak kaget karena tak percaya dan merasa jijik. Setelah jaksa selesai, hakim memandang Lucius.

"Tuan Wolfe," kata hakim. "Bagaimana pembelaan Anda?"

Pengacara Lucius berdiri. "Klien saya mengaku bersalah, Yang Mulia."

"Baiklah. Apa ada hal yang ingin disampaikan terdakwa?" tanya hakim. Pengacara Lucius lalu memandangnya.

"Ya, Yang Mulia," kata Lucius pelan. "Saya ingin membuat pernyataan jika saya melenyapkan jasad Jason atas perintah ayah saya. Namun saya menyadari tindakan saya salah dan saya menerima konsekuensinya."

"Pernyataan telah dicatat," kata hakim sambil mengetok palu sekali lagi. "Karena terdakwa tak memiliki riwayat kriminal dan kooperatif, pengadilan akan mempertimbangkan keringanan hukuman. Dengan ini sidang memvonis hukuman tujuh tahun penjara atas tuduhan masuk tanpa izin, penculikan, pemerkosaan, dan pembuangan jenazah secara ilegal diikuti dengan masa percobaan. Anda juga akan diminta menjalani tes narkoba."

Lucius mengangguk. "Terima kasih, Yang Mulia."

Mata Maven tertuju pada Lucius saat para polisi menuntunnya keluar ruang sidang. Tatapan mereka bertemu, dan Lucius kembali menatap Maven untuk terakhir kalinya, kemudian bergumam pelan, "Maafkan aku."

Suaranya teredam kebisingan ruang sidang, tapi Maven bisa mendengarnya. Dia bisa melihat penyesalan dan rasa malu di mata pria itu. Namun dia belum bisa memaafkannya secara langsung. Akan tetapi bagaimanapun juga Lucius lah yang membantunya menangkap Charles dan ayahnya.

Lucius dibawa keluar oleh para polisi. Kepalanya tertunduk dan hatinya dipenuhi rasa bersalah. Saat digiring ke sel tahanan, dia kini sendirian. Tujuh tahun penjara sudah lama sekali, dan dia membayarnya dengan mendekam di penjara. Namun anehnya dia lega karena menghadapi konsekuensi atas tindakannya.

***

Beberapa bulan kemudian, Maven tiba di penjara karena sudah berjanji untuk mengunjungi Lucius. Dia pun dibawa ke ruang kunjungan dan duduk di hadapan kaca tebal untuk menemui Lucius lagi setelah sekian lama.

Lucius lalu masuk, dan tatapan mereka bertemu. Untuk sesaat tak ada yang bicara, tapi akhirnya Lucius tersenyum kecil. "Halo, Maven."

"Bagaimana kabarmu?" tanya Maven sedikit khawatir.

Lucius menghela napas dengan sedih. "Makanannya tak enak, narapidana lain sering bertengkar, dan penjaganya sangat keras, tapi yang paling parah adalah tak bisa melihatmu."

Hati Maven sakit mendengar ucapan Lucius. Dia ingin memberi tahunya kalau dia juga merindukannya, tapi dia menahannya. Air mata Lucius tiba-tiba mengalir. Rasa kesepian dan penyesalannya terlalu berat untuk ditanggung, jadi dia pun menangis.

Secara naluriah Maven mengulurkan tangan, berharap bisa menenangkannya, tapi mereka terhalang kaca. Lucius lalu menyeka pipinya. "Begitu aku dibebaskan, aku janji akan melakukan apapun untuk menebus kesalahanku."

"Aku yakin kau bisa berubah. Kuharap kau merenungkan tindakanmu saat di sini," kata Maven. Lucius mengangguk. Butuh waktu yang lama untuk mendapat kepercayaan Maven, tapi setidaknya dia bersedia memberi kesempatan.

"Kumohon tunggu aku," katanya sedikit gemetar, "Aku tak punya hak untuk meminta apapun darimu, tapi tolong jangan lupakan aku. Aku akan menghitung hari sampai bisa menemuimu lagi."

"Aku akan menunggumu," kata Maven pelan. Jauh di lubuk hatinya, entah kenapa dia juga tak ingin kehilangan Lucius.

Lucius kini sangat lega dan tersenyum sedih. "Terima kasih... aku bersumpah takkan mengecewakanmu..."

FIN

Perfect PredatorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang