Part 9

1.2K 120 1
                                    

Maven sudah sering melihat TKP pembunuhan, tapi dia merasa ngeri saat melihat kaki mayat itu. Sejenak dia menenangkan diri saat menyingkap karpet sepenuhnya, memperlihatkan korban yang tak bernyawa di lantai.

Wajahnya tak terlihat karena redupnya cahaya di ruangan itu, tapi Maven bisa menebak jenis kelaminnya laki-laki. Dia berpikir keras saat menduga identitas korban dan motif di balik pembunuhan tersebut. Kini dia memikirkan Lucius yang terus memenuhi pikirannya selama beberapa hari terakhir.

Apakah semua kebaikan dan keramahan Lucius padanya hanyalah pura-pura?

Dengan perasaan tak nyaman, Maven berdiri dan mengamati ruangan itu. Dia tak bisa berhenti memikirkan kemungkinan kalau Lucius adalah pembunuhnya tak peduli sebaik apapun pria itu padanya. Bagaimanapun caranya, dia harus bersikap objektif.

Maven mulai menggeledah ruangan itu, mencari petunjuk atau bukti yang ditinggalkan Lucius. Dia melihat selembar kertas di lantai, lalu membungkuk untuk mengambilnya. Dia langsung sadar kalau tulisan tangannya mirip dengan catatan di mobilnya tempo lalu.

Kertas itu berisi daftar nama yang tak Maven ketahui. Apakah ini nama para korban?

Maven semakin tak nyaman saat menyadari kalau catatan itu bisa merupakan bukti kalau Lucius adalah pembunuh berantai, dan tanpa sadar Maven berinteraksi dengannya. Emosinya memuncak saat sadar kalau dirinya tertipu dengan sifat Lucius yang ramah dan menawan. Dia merasa bodoh karena semudah itu percaya padanya.

Maven memasukkan catatan itu ke dalam sakunya dan berniat memeriksanya lebih lanjut nanti. Untuk saat ini, dia terus mencari sesuatu yang mungkin memberinya lebih banyak petunjuk atau bukti yang mengarah pada Lucius. Dia melihat sekeliling sekali lagi, memastikan tak melewatkan apapun.

Namun nihil. Hanya ada sisa perkelahian serta darah yang berceceran di lantai. Diam-diam Maven mengambil sampel darah korban lalu membersihkannya. Saat dia menyelesaikan tugasnya, terdengar suara pintu yang terbuka di belakangnya. Jantungnya berdebar kencang saat melihat Lucius yang menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Sudah selesai?" tanya Lucius dengan santai. Dia melangkah masuk. Tatapannya tak pernah lepas dari Maven. Tampaknya dia masih tak mengenalinya, tapi ada sedikit rasa was-was di wajahnya.

Maven berusaha terdengar tenang saat merespons. "Aku sudah membersihkan noda darah di lantai dan dinding, tapi cukup sulit untuk membersihkan karpetnya."

"Oh, begitu," kata Lucius sambil mengangguk. Dia berjalan mengelilingi ruangan dan menghindari botol-botol berisi bahan kimia di lantai.

Tampaknya Lucius tak peduli dengan mayat yang tergeletak di tengah ruangan, membuat Maven semakin curiga kalau pria itu sudah terbiasa dengan pemandangan di hadapannya. Dia harus terus berpura-pura sebagai pembersih TKP meskipun bisa menebak sifat asli Lucius sekarang.

Lucius mengamati ruangan itu, kemudian berkata, "Pekerjaanmu rapi. Ini bukan pertama kalinya, ya?"

"Begitulah," jawab Maven ambigu. Dia tak ingin mengungkapkan identitas aslinya secara tak langsung.

Lucius lalu mengelilinginya dan menatapnya dari atas hingga bawah. Dia melangkah lebih dekat menuju Maven dan mengamati wajahnya yang dilapisi topeng plastik. "Kau tahu? Rasanya aku pernah melihatmu sebelumnya."

Maven merasakan keringat dingin yang mengucur di dahinya saat mendengar ucapan Lucius. Dia berusaha menahan ekspresi wajahnya tetap datar di balik topengnya, tapi dia semakin tak nyaman karena tatapan Lucius. Dia harus memastikan pria itu tak curiga padanya.

"Oh, benarkah? Sepertinya kau salah orang," jawab Maven, berusaha terdengar acuh tak acuh.

"Mungkin," kata Lucius lalu mengangkat bahu. Ada kilatan di matanya yang menunjukkan kalau dia sendiri tak sepenuhnya yakin. Dia menjauh dari Maven dan berjalan mengelilingi ruangan itu lagi. "Tapi kau mengingatkanku pada seseorang."

Maven melirik Lucius yang terus melangkah seolah sedang tenggelam dalam pikirannya. Dia merasa kalau sepertinya Lucius mulai mencurigainya. Dia harus menemukan cara untuk mengakhiri percakapan mereka dan keluar dari sini secepatnya sebelum Lucius menyadarinya.

Maven pura-pura menguap dan menutupi mulutnya dengan tangan yang dilapisi sarung tangan. "Omong-omong, ini sudah larut malam. Aku mungkin harus pergi dari sini."

Lucius mendongak, seolah-olah barubtersadar dari lamunannya. "Oh, ya benar. Sepertinya kau memiliki klien selain aku dan rumahku bukan satu-satunya tempat yang akan kau bersihkan malam ini, ya?"

"Tepat sekali. Malam ini cukup sibuk bagiku," kata Maven sambil mengangguk, merasa lega karena Lucius sepertinya menerima alasannya. Dia mulai mengumpulkan perlengkapannya sambil menyembunyikan catatan Lucius di sakunya.

"Oh, jika kau butuh uang tambahan, aku bisa memberimu pekerjaan," kata Lucius setelah hening beberapa saat. Dia menghampiri Maven dengan tangan di saku dan memperhatikannya yang terus mengemasi barang-barangnya. "Tentu saja tak aneh-aneh, hanya membantuku bersih-bersih seperti ini."

Maven terkejut sekaligus tak percaya dengan kata-kata Lucius. Apakah dia baru saja mencoba merekrut dirinya sebagai "pembersih TKP" dan bekerja sama dengannya?

Dia tahu kalau ini adalah kesempatan sempurna untuk mendekati Lucius dan mengumpulkan lebih banyak bukti, tapi dia juga sadar bahwa risikonya sangat besar. Meski begitu dia mengangguk dan menjawab dengan hati-hati, "Baiklah, akan kupertimbangkan."

"Baguslah kalau begitu," kata Lucius sambil menepuk bahu Maven, tampak senang dengan jawabannya. Senyuman kecil pun tersungging di bibirnya. "Aku pasti akan memanggilmu jika butuh jasamu. Pekerjaanmu rapi dan cepat. Itulah yang kuinginkan."

Maven mengangguk lagi, merasa jijik sekaligus puas mendengar ucapan Lucius. Dia tak percaya kalau pria itu masih belum bisa menebak siapa dirinya yang sebenarnya, dan fakta kalau saat ini dia berdiri tepat di hadapan pembunuh berantai tanpa dikenali membuat andrenalinnya mengalir deras.

Namun Maven juga merasa was-was karena menempatkan dirinya ke dalam marabahaya yang lebih besar dengan berinteraksi dengan Lucius sebagai partner in crime.

***

Maven membawa catatan dan sampel darah yang dia dapatkan semalam ke laboratorium untuk dianalisis, berharap mendapatkan petunjuk mengenai identitas dan motif si pembunuh.

Daftar nama yang ditulis di catatan tersebut diperiksa lebih lanjut melalui database dan arsip kriminal milik kepolisian. Sementara itu, sampel darah dari mayat di rumah Lucius dianalisis dan dibandingkan dengan database DNA yang dapat mereka akses.

Begitu selesai, Hannah melaporkan hasilnya pada Maven. "Aku dan timku sudah menganalisis sampel darahnya. Hasilnya cocok dengan seorang pria bernama Jason Weston, putra perwira militer yang sudah pensiun."

Maven mengangguk saat mendengar informasi tersebut. Jika darah tersebut adalah milik putra seorang perwira militer maka hal ini berkaitan dengan kain seragam yang mereka temukan sebelumnya. "Lalu bagaimana dengan catatannya?"

"Setelah kami periksa, nama-nama ini adalah mantan pelaku kriminal. Namun yang paling menonjol," Hannah menunjuk salah satu nama, "adalah William Carter. Dia dipecat secara tak hormat dari pangkalan militer atas kasus pencurian dan penipuan. Hingga saat ini keberadaannya tak diketahui."

***

Jika kamu menikmati ceritanya, jangan lupa untuk memberi vote.

Seperti biasa kritik, saran, atau pertanyaan bisa ditulis di kolom komentar.

Perfect PredatorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang