"Kau selalu fokus pada pekerjaanmu, dan mendapatkanmu adalah tantangan bagiku," kata Lucius. "Jadi aku takkan membebaskanmu semudah itu. Aku sudah lama menginginkanmu, Maven..."
Maven berusaha bicara, dan suaranya bergetar karena amarah. "Kau... sakit jiwa..."
Lucius tak terpengaruh dengan ucapan Maven. Sebaliknya, lidahnya menelusuri puting Maven lalu mengulum dan menghisapnya pelan, membuat Maven terkesiap lagi. Sejenak dia menatap dada Maven, mengagumi putingnya yang bengkak akibat dia hisap dan gigit.
Maven mati-matian berusaha melepaskan diri dari sensasi yang diberikan Lucius. Namun saat dia meronta, tali itu melukai kulitnya. Rasanya ironis detektif seperti dirinya yang bertugas memecahkan kasus kriminal sekarang ditawan pembunuh berantai.
Meskipun pergelangan tangannya terikat, Maven berhasil menggeser tubuhnya sedikit dan menggunakan kakinya untuk menendang Lucius di bagian perutnya. Namun Lucius menerima serangan tak terduga itu dengan tenang dan berhasil menghindari tendangan Maven.
"Hebat juga," kata Lucius kagum. Dia memperhatikan Maven dengan geli. "Tapi asal kau tahu, aku sudah terlatih dalam hal-hal semacam ini, jadi jangan harap kau bisa menyerangku semudah itu."
Wajah Maven berubah frustrasi, sadar kalau ucapan Lucius ada benarnya. Tiba-tiba saja Lucius merobek kemejanya dengan cepat dan agresif, memperlihatkan tubuh kekarnya. Wajah Maven memerah karena marah dan terhina saat tangan Lucius kini menjelajahi tubuhnya.
"Sial, lepaskan aku!" seru Maven geram. Suaranya serak karena emosi. Dia ingin mendorong Lucius, tapi tali itu mengikat tangannya dengan kuat.
"Kau sekarang milikku," ujar Lucius. Dia menertawakan usaha Maven untuk melawan. Jari-jarinya memainkan puting Maven sementara bibirnya mengecup lehernya. "Aku akan membuatmu mendesah kenikmatan, dan kau takkan bisa menghentikanku."
Meski sudah berusaha sekuat tenaga untuk menahan suaranya, Maven tanpa sengaja mengeluarkan desahan pelan. Lucius menyeringai saat mendengarnya. Dia mencubit dan menarik-narik puting Maven. "Aku suka suara desahanmu. Imut."
Maven menggigit bibir supaya tak bersuara. Lucius menyadari rahang Maven menegang, lalu mengulurkan tangan untuk membelainya. Jari-jarinya dengan lembut menjauhkan gigi Maven dari bibirnya. "Jangan ditahan, sayang. Aku ingin mendengarnya."
Kemudian dia menghisap dan menggigit bibir Maven dengan lembut. Sensasi mulut Lucius membuat kepala Maven pusing. Pertahanannya sedikit melemah. Lucius pun melanjutkan ciumannya. Maven menolak, tapi lidah Lucius terus menggodanya sampai membuatnya tak sengaja mengerang.
Lucius menahan kepala Maven untuk memperdalam ciumannya. Lidah mereka kini bertautan. Maven tak bisa menahan desahan lembutnya, sementara Lucius mendominasi ciuman itu. Tangannya membelai rambut Maven saat menariknya lebih dekat.
Setelah beberapa saat, Lucius menarik diri untuk menjilat leher Maven. Bibir dan giginya meninggalkan bekas cupang, menandai Maven sebagai miliknya. Tubuh Maven pun gemetar dan melengkung. Dia ingin melawan, tapi sensasinya terlalu kuat.
"Aku bisa langsung melahapmu," bisik Lucius. Deru napasnya yang panas menerpa kulit sensitif Maven. Bibir Lucius bergerak ke bawah. Lidahnya menelusuri perut Maven, sementara giginya menggigit ototnya yang tegang.
Mulut Lucius akhirnya mencapai celana Maven. Dia melirik pria itu penuh makna. Maven bisa merasakan intensnya tatapan Lucius. Detak jantungnya berdebar kencang karena was-was. Dia ingin protes dan menyuruh Lucius berhenti, tapi suaranya tak keluar.
Sorot mata Lucius sangat agresif dan liar saat mulai membuka kancing celana Maven. Suara risleting yang terbuka memenuhi udara. Napas Maven tercekat, sementara tubuhnya semakin tegang. Dengan cepat Lucius menarik celana Maven dan menelanjangi pria itu.
"Cantiknya," gumam Lucius. Lidahnya menjulur keluar untuk membasahi bibirnya. Dia meletakkan tangannya di pinggul Maven, lalu mengusapnya.
Napas Maven semakin tak teratur saat kemaluannya terpampang jelas. Dia bisa merasakan napas Lucius di kulitnya, panas karena nafsu yang tak tertahankan. Tiba-tiba Lucius berkata, "Aku punya ide, sayang. Tunggu sebentar."
Lucius berdiri dan meninggalkan Maven yang waspada dan frustrasi. Dia menghampiri laci dan mengobrak-abrik isinya. Kemudian dia mengeluarkan botol kecil dan kembali ke Maven dengan senyuman licik di bibirnya. Dia pun menunjukkan botol itu pada Maven.
Mata Maven melebar saat menyadari apa isi botol itu. Pelumas. Dia menelan ludahnya susah payah. Dadanya naik turun dengan cemas.
"M-Mau apa kau...?" tanyanya dengan tegang. Nada suaranya terdengar takut dan tak percaya. "Kau tak berencana menggunakannya padaku, kan?"
"Oh, tentu saja iya. Kau tak tahu sudah berapa lama aku menantikan hal ini, sayang," kata Lucius sambil tersenyum lebar. Matanya berkilat nakal. Dia kembali memosisikan dirinya di antara kaki Maven. Tangannya mencengkram paha Maven dengan kuat dan posesif, lalu menariknya lebih dekat.
"Be a good boy and stay still," katanya dengan nada memperingatkan.
Maven mencoba melawan, tapi sekuat apapun dia mencoba, tali yang mengikat tangannya tak pernah lepas. Dia sepenuhnya berada di bawah kendali Lucius yang akan melakukan apapun yang dia mau pada tubuhnya. Rasanya memalukan dan juga menakutkan.
Lucius yang memperhatikan Maven merapatkan pahanya hanya tertawa kecil. Dia mencondongkan tubuhnya dan menahan Maven di tempat. Lalu tiba-tiba dia merentangkan paha Maven dengan tangannya, membiarkan lubang analnya terekspos.
Tangannya mengambil botol pelumas dan membuka tutupnya, lalu menuangkan cairan dingin itu ke telapak tangannya. Perlahan dia mulai membelai paha Maven bagian dalam, memperhatikan pria itu gemetar karena sentuhannya.
Tubuh Maven menggeliat untuk melepaskan diri dari cengkeraman Lucius. Namun tangan Lucius yang meraba pahanya membuatnya merasa nikmat sekaligus kesakitan. Kepalanya mulai berputar dan terasa pusing.
"Diam," kata Lucius, masih mengusap bagian dalam paha Maven. Dia mencubit kulit Maven, membuat pria itu memekik kesakitan. Sensasi nyeri itu dengan cepat mereda, digantikan oleh denyutan ngilu.
Lucius menyeringai mendengar suara Maven. Dia melingkari lubang anal Maven dengan jarinya untuk menggoda bagian sensitifnya. Maven langsung terkesiap. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dan hal itu membuatnya ketakutan.
"Jangan..." kata Maven. Suaranya serak karena putus asa. "Kumohon... jangan..."
Lucius membungkuk. Bibirnya menempel di telinga Maven. "Oh, detektifku sayang. Kenapa aku harus berhenti saat melihat tubuh cabulmu yang seksi ini di hadapanku?"
Jari Lucius terus berputar, membuat tubuh Maven tegang dan terangsang. Napasnya kini tersengal-sengal. Tanpa aba-aba, Lucius memasukkan jarinya ke dalam, dan Maven langsung mengerang. Kepalanya terkulai ke tempat tidur. Tubuhnya melengkung seperti busur.
Sensasinya sangat intens, hampir membuat Maven kewalahan. Bukan rasa sakit saja, melainkan nikmat bercampur rasa takut dan putus asa. Namun dia tahu Lucius takkan berhenti sampai dia puas.
Lucius memperhatikan tubuh Maven yang menggeliat dan membusungkan dada. Kemudian dia menambahkan jari kedua, memasukkan dan mengeluarkannya secara perlahan demi memancing suara desahan dari Maven.
***
Jika kamu menikmati ceritanya, jangan lupa untuk memberi vote.
Seperti biasa kritik, saran, atau pertanyaan bisa ditulis di kolom komentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Predator
Mystery / ThrillerMaven si detektif ditugaskan untuk menangkap pembunuh berantai. Dia pun menyamar sebagai murder cleaner dan mendapat klien pertamanya yaitu Lucius, pria paling ramah di kota itu. *** Detektif handal bernama Maven Kline sedang melakukan pencarian ter...