#O9. Pengantin Baru

9 4 0
                                    

Hari berganti, pagi ini terasa begitu cerah kala sinar sang bagaskara menelisik ke sebuah ruangan melalui celah-celah kecil jendela di balik gorden berwarna mocca. Membangunkan sepasang mata yang terlelap dalam dekapan hangat pria yang matanya masih tertutup rapat.

Yesya, wanita terbangun kala sedikit cahaya matahari yang masuk ke ruangan itu menerpa wajahnya. Namun aneh, bukannya segera beranjak dari tidurnya. Ia justru sibuk memerhatikan sosok pria yang sejak semalam membawanya pada dekapan hangat. Pria yang kini masih menutup rapat matanya, terlihat begitu damai bagi Yesya.

Namun aktivitasnya mengagumi paras itu, tiba-tiba saja si pemilik paras itu berdeham pelan dengan mata yang masih tertutup.

"Saya tahu, saya memang tampan." Ya, itu suara Leo dengan nada bangganya, meski masih dalam keadaan mata tertutup.

"Eeh?"

Leo, pria itu lantas membuka matanya dan mendapati pandangan mereka yang beradu dengan begitu lekat. "Tidak apa, tidak usah malu. Seharusnya kamu merasa beruntung, karena kamu akan selalu melihat pemandangan seperti ini."

"Pemandangan apa?"

"Pemandangan pria tampan, mapan, dan dermawan. Bukankah ini yang diimpikan setiap wanita di bumi ini?" balas Leo.

Decakan pelan pun keluar dari bibir Yesya, ia sungguh tak percaya dengan ucapan pria di hadapannya ini yang sangat sombong. Daripada terus beradu argumen yang tidak jelas arahnya, Yesya pun berinisiatif untuk segera beranjak dari tempat tidur itu. Namun ia baru sadar, jika masih ada tangan kekar yang melingkar di bagian perutnya.

"Lepasin saya, dong. Pak Leo yang paling tampan, mapan nan dermawan!" ujar Yesya dengan penuh penekanan. Yang membuat Leo tersadar bahwa semalaman ia tidur dalam keadaan memeluk tubuh mungil Yesya, alih-alih sebuah guling?

Tanpa beradu argumen, Leo lebih memilih segera melepaskan pelukannya pada tubuh Yesya. Membiarkan wanita itu segera beranjak dari sana.

Sementara Yesya yang baru saja terlepas dari dekapan Leo, segera memilih untuk pergi ke kamar mandi untuk melakukan rutinitasnya seusai bangun tidur. Hal yang selalu ia lakukan sejak kecil di rumahnya.

Tak butuh lama bagi Yesya menyelesaikan rutinitas mandinya, kini pun sudah berganti dengan Leo. Masih tak ada obrolan berarti di antara mereka. Bahkan hingga keduanya kini sudah berada di meja makan untuk sarapan.

Berbeda dengan Leo yang memasang ekspresi tenang, lebih tepatnya datar di wajahnya. Yesya justru memasang raut wajah heran. Seolah ia ingin mempertanyakan sesuatu kepada Leo yang saat ini tengah sibuk memasukkan sepotong roti panggang ke dalam mulutnya.

"Keluarga saya tidak ada, tidak perlu mencari mereka." cetus Leo tanpa mengalihkan atensinya ke arah Yesya, seolah tahu apa yang dipikirkan wanita itu.

Yesya hanya terdiam dan memilih melanjutkan makannya daripada membalas perkataan Leo. Pikirnya, ia harus segera menghabiskan makanan ini dan segera pergi untuk bekerja. Berada di dekat Leo terlalu lama, sepertinya membuat Yesya tidak dapat berpikir dengan jernih.

"Aku udah selesai, aku berangkat dulu." ujar Yesya sembari meraih tasnya yang terletak di kursi sampingnya.

"Berangkat ke mana?"

"Kerja." jawab Yesya dengan polos.

"Berangkat sama saya. Mulai hari dan seterusnya, kita sudah menikah." cetus Leo dengan menatap Yesya sekilas, namun kembali mengalihkan pandangannya ke arah I-Pad di tangannya.

"Tapi, Pak. Nanti kalo semua orang tahu gimana?"

Helaan napas ringan pun mengalun dari bibir Leo sembari berkata, "Justru akan lebih baik jika semua orang tahu, bahkan seluruh media harus tahu tentang pernikahan ini. Agar orangtua saya tidak menganggap sepele pernikahan ini."

LIKE We Just MeetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang