147. Hari Keberangkatan

2.9K 457 18
                                    

Aryanti tak henti-hentinya menangis siang ini di bandara. Setelah mempersiapkan kepergian Gadis sejak beberapa waktu lalu dan berusaha menata hati serta pikirannya namun nyatanya tetap saja saat hari H di mana Gadis akan meniggalkan Indonesia, air matanya tetap mengucur dengan derasnya. Mungkin saja jika dikumpulkan sejak awal Gadis memiliki ide untuk travelling  hingga sabtu siang ini, jumlah air matanya sudah lebih dari satu gayung berbentuk love.

Gadis yang melihat kelakuan Mamanya ini hanya bisa menghela napas dan pasrah karena sesekali orang yang melintas di hadapannya akan melirik ke arah mereka. Sudibyo tak banyak membantu karena laki-laki ini juga larut dalam pikirannya sendiri. Bagaimanapun ia merasa berat untuk melepas anak perempuannya ini. Sudah anak laki-lakinya tinggal jauh di Singapura, kini giliran anak perempuannya yang akan tinggal jauh darinya lagi. Padahal belum lama ia bisa menikmati saat-saat tinggal bersama Gadis kembali dan menganggap dirinya kembali sebagai orangtua karena ada orang yang bisa ia curahi kasih sayangnya sebagai seorang ayah yang beberapa waktu sebelumnya sudah ia lupakan karena anaknya sudah dewasa dan tidak tinggal serumah lagi dengan dirinya.

"Pa... Papa jangan ikut-ikutan nangis dong. Malu dilihat orang yang lewat."

"Kamu juga kenapa enggak batalin aja sih, Dis? Kamu enggak kasihan sama Gavriel? terlebih Mama dan Papa sudah tua juga ini."

Mendengar suara sang Papa yang merajuk, Gadis memilih diam. Ia sudah mengambil keputusan dan dirinya akan menjalani semua itu apapun resikonya. Bahkan Gavriel yang berdiri di samping Mama dan Papanya saja diam seribu bahasa sejak tadi. Sepertinya laki-laki ini tidak mau membuat Gadis merasa bersalah apalagi sampai menyesali keputusannya. Bagi Gavriel selama Gadis bahagia, ia akan mendukung apapun pilihan pacarnya itu. Meskipun untuk itu, ia harus mengorbankan keinginannya yang selalu menginginkan Gadis berada di dekatnya. Tidak harus bercinta, ia hanya ingin setiap bangun tidur dan sebelum tidur ada Gadis di sampingnya, itu saja. Ia ingin mencurahkan semua isi hati serta apapun yang ia rasakan kepada Gadis.

"Gavriel bakalan baik-baik aja selama aku tinggal, Pa. Papa dan Mama yang harus jaga kesehatan."

Sontak saja Gavriel langsung memanyunkan bibirnya kali ini. Jika Gadis berpikir ia akan baik-baik saja maka itu salah besar. Ia hanya berusaha untuk terlihat kuat meskipun dua hari belakangan ini dirinya selalu menangis setiap malam. Anggap saja ia kekanak-kanakan namun itulah yang terjadi. Sengaja Gavriel tak menceritakan semuanya kepada teman-temannya namun sepertinya ketiga temannya cukup mengetahui jika ia sedang berada di fase antara bahagia dan sedih secara bersamaan. Bahagia karena ia akhirnya bisa menjalin hubungan yang serius dengan perempuan yang ia cintai namun juga sedih karena di saat ia benar-benar sedang berbunga-bunga dan bahagia karena memiliki Gadis di hidupnya, perempuan itu justru memilih pergi jauh tanpa dirinya.

Kini Gadis pamit kepada kedua orangtuanya karena ia harus segera memasuki pintu keberangkatan. Ia peluk satu per satu dimulai dari Papanya, Mamanya dan yang terakhir adalah Gavriel. Cukup lama Gavriel dan Gadis berpelukan. Mereka bahkan tak peduli pada kedua orangtua Gadis yang ada di dekat mereka saat ini. Gadis bisa mendengar isakan tangis Gavriel yang kini sedang mencium samping kepalanya dan membisikkan beberapa pesan untuknya mulai dari memintanya untuk segera menelepon begitu pesawatnya mendarat di Singapura hingga pesan Gavriel untuk tidak lupa menjaga pola makan serta meminum vitamin.

Pelukan antara Gavriel dan Gadis harus berakhir kala suara yang tidak asing ditelinga mereka terdengar secara bersamaan.

"BUNDA..."

"LE... TUNGGU PAPA!"

Kini Gadis mengurai pelukan itu lebih dulu. Saat ia menoleh ke sisi sebelah kanan, sosok Leander sedang berlarian kecil ke arahnya. Di belakang bocah itu tampak sosok Elang sedang berlarian ke arah Leander saat ini. Baru di belakang Elang tampak sosok Wilson, Chava, Aditya, Hanna dan Raga yang berjalan cepat. Melihat semua orang yang dekat dengannya hadir di tempat ini, Gadis tersenyum meskipun Alena tidak bisa hadir di sini karena ia harus menemani Mamanya yang sedang dirawat di rumah sakit. Tanpa Gadis sadari setetes air mata menetes di pipinya. Gadis baru tersadar dari memikirkan bagaimana beruntungnya hidupnya sejak ada Gavriel di dalamnya. Ia tidak hanya memiliki Gavriel sebagai pasangan namun juga teman-teman Gavriel yang sudah seperti sahabat bahkan keluarga meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah.

Lean yang menubruk kaki Gadis membuat Gadis sedikit terhuyung ke belakang. Untung saja ada Gavriel di belakangnya yang membuat Gadis tidak langsung jatuh karena punggungnya menabrak tubuh bagian depan Gavriel.

"BUNDA.... BUNDA JANGAN PERGI!" ocehan Lean bersamaan dengan bocah itu memaparkan wajah akan menangis membuat Gadis sedikit merasa bersalah. 

Gadis langsung berjongkok di hadapan Leander dan ia mengusap rambut bocah itu yang lurus dan lembut dengan tangan kanannya. 

"Bunda cuma pergi sebentar. Bunda bakalan pulang dan nanti langsung nemuin Lean kalo sudah pulang."

"Aku ikut bunda aja, ya?"

"Enggak bisa. Kasihan Papa sama Ayah kalo Lean ikut Bunda. Nanti kakak Raga juga enggak punya teman main lagi."

"Tapi kakak sibuk sekolah sama les. Ayah juga cuma bisa temani aku kalo weekend aja."

Gadis mendongak ke arah Gavriel dan ia mencoba meminta bantuan pacarnya itu meskipun hanya dari sorotan mata saja. Seakan tahu akan maksud tatapan Gadis ini, Gavriel segera mengangkat Leander dengan kedua tangannya dan menggendongnya di depan.

"Bunda itu perginya cuma sebentar, Le... nanti kalo kita ada waktu, kita bisa susulin bunda buat jalan-jalan."

"Bener, Yah?"

"Iya," ucap Gavriel mencoba membuat Leander yakin meskipun ia sendiri tidak yakin bisa melakukan semua itu.

Kali ini Gadis merasa berterimakasih karena Leander bisa percaya begitu saja dengan ucapan Ayah jadi-jadiannya ini. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Gadis segera pamit kepada teman-teman Gavriel. Ia peluk mereka satu per satu. Gadis berharap Gavriel tidak akan cemburu kala ia memeluk teman-temannya karena pelukan itu tidak terjadi lebih dari tiga detik. Hampir semua orang memberikan pesan kepadanya untuk berhati-hati namun Gadis juga tidak lupa untuk menitipkan Gavriel pada mereka semua.

"Gue titip Gavriel, kalo dia macam-macam kalian berhak mewakili gue buat menghukum dia."

Ucapan Gadis membuat Hanna memamerkan senyum manisnya. Baginya permintaan Gadis ini sangat salah jika diberikan kepada ketiga teman Gavriel yang akan tetap memihak teman mereka sampai kapanpun. Kesetian serta kesetiakawanan mereka sudah teruji bertahun-tahun, jadi salah ataupun benar salah satu diantara mereka, pasti tiga orang ini akan tetap memberi dukungan.

"Kalo lo mintanya ke Elang, Adit sama Wilson kayanya enggak akan mungkin mereka berkhianat sama Gavriel, tapi kalo mintanya ke gue itu masih mending karena gue akan tetap sunatin Gavriel kalo dia berani main sama perempuan lain di belakang lo."

Spontan saja Elang langsung memegang depan celana jeans warna biru yang ia kenakan. "Ngilu gue dengarnya," ucap Elang pelan namun masih bisa di dengar oleh Wilson yang ada di dekatnya.

Wilson langsung bergidik membayangkan bagaimana bisa Aditya bucin pada perempuan yang tega seperti Hanna ini. "Kalo gue sudah enggak akan naksir apalagi bucin sama emak-emak modelan kaya Hanna begini."

bugg...

Chava memukul punggung Wilson karena ia bisa melihat bagaimana tatapan Raga yang tidak terima karena ibunya dikomentari oleh kedua teman Aditya ini. Bagimanapun juga menurut Chava, Hanna adalah sosok ibu yang baik, bahkan meskipun usia Hanna lebih muda daripada Mamanya, Hanna bisa menjalankan peran sebagai seorang ibu sepenuhnya. Ia bisa dekat dengan anak remajanya layaknya seorang sahabat hingga anaknya merasa nyaman bersamanya tanpa berniat mencari kehangatan di luar rumah. Hal ini yang membuat Chava kadang merasa iri. Ia tak pernah merasa seperti ini saat bersama orangtuanya terlebih Mamanya.

"Ya udah, pokoknya gue titip Gavriel sama kalian semua," ucap Gadis yang diakhir dengan sebuah senyuman. Kini Gadis menghadap ke arah Gavriel dan ia tatap laki-laki itu. "Dan aku titip Mama sama Papa ke kamu. Kalo kamu punya waktu luang, sesekali boleh 'kan aku minta kamu kunjungi orangtua aku di Solo?"

Gavriel anggukkan kepalanya, namun permintaan Gadis ini sukses membuat Aryanti kembali menangis tersedu-sedu hingga Sudibyo sampai mengelus punggung Aryanti naik turun dengan tangan kanannya. Gadis yang mendengar isakan tangis Mamanya segera menghadap ke arah Aryanti dan ia peluk Mamanya untuk yang terakhir kali sebelum dirinya memasuki pintu keberangkatan. 

Kala Gadis sudah memasuki pintu keberangkatan dan sosoknya sudah tak terlihat lagi, air mata yang Gavriel tahan sejak tadi akhrinya keluar dari sudut matanya. Demi menyembunyikan kesedihannya ini, Gavriel membenamkan wajahnya di pundak Leander yang masih ada di dalam gendongannya. Dalam hati Gavriel, ia hanya bisa berdoa agar Gadis selalu dalam keadaan sehat dan jauh dari marabahaya ketika ia tidak bisa berada di dekat perempuan itu.

***

 

From Bully to Love Me (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang