4. Butterfly Era

175 27 16
                                    

"Catat ini, Kelvin. Janika Sahara, mulai detik ini nggak nerima adegan ciuman!" Janika mengoceh di dengan telepon genggam keluaran terbaru, paling mahal di antara semua ponsel yang beradu mewah. Berbanding terbalik kalau dibandingkan dengan milik Sagara, keluaran tiga tahun lalu dengan layar yang sudah seperti jaring laba-laba.

"Kenapa lo nggak mau ciuman? Lagi masang kawat? Takut bibir lawan main lo kecantol kawat?" tanya laki-laki dengan kepribadian agak rempong itu ke Janika. Janika sekarang lebih rempong karena menelepon seorang manager pagi-pagi buta, untuk memberitahukan hal-hal mendadak yang dianggap Kelvin tidak penting.

"Atau cukup jangan ambil film romantis lagi ke depannya!"

"Lo kenapa, sih, Janika? Lo cari nafkah pakai apa Jancok? Nama lo gede itu karena lo kokop-kokopan sama cowok tau nggak? Lo pas akting jadi perawan gentayangan acting lo jelek banget sumpah, jadi mending lo nggak usah neko-neko lagi!" Kelvin berbicara seperti kereta, jujur saja Janika harus menggosok telinganya yang terasa pengang.

"Ada hati yang harus gue jaga, Kelvin."

"Apa? Hati? Pacaran? Sama anak mana tuh? Artis dari PH mana? Atau produser lo pacaran?" Lagi-lagi seperti kereta, memang laki-laki cerewet tidak ada daya tariknya. Sagara tidak cuek dan tutur katanya lembut, tidak seperti ini. Memikirkan apa pun pasti Janika tersenyum karena tiba-tiba terkoneksi dengan Sagara.

Sagara yang tampan itu adalah pacarnya sekarang.

"Lo itu urusin kerjaan gue aja, nggak usah urusin percintaan gue!" Janika menutup panggilannya, buru-buru dia membuka obrolan pesan dengan Sagara.

Sagara tidak mengirimkan pesan dari semalam. Padahal dia menunggu kalimat manis yang harus menemani hari-harinya agar liburan ini semakin menyenangkan, tapi Sagara tidak suka bertukar pesan.

***

Di tempat lain, Sagara sedang berusaha menggapai tabung obatnya. Entah di mana benda pahit itu disimpan, dia sedikit pikun sejak lahir. Tubuhnya sudah bergetar dengan peluh-peluh yang bertebaran, tapi tak kunjung menemukan obat.

Mantan kameramen rumah produksi film itu membuka dengan brutal setiap laci yang ada di kamarnya.

"Ahhk!" Entah berapa kali Sagara harus menahan erangan yang selalu lolos dari bibirnya yang bahkan sudah kering dan berdarah efek digigit karena terlalu sakit.

Betapa bahagianya Sagara saat tubuhnya terbanting paksa ke lantai dia justru menemukan tabung obat itu di kolong kasur. Ternyata menggelinding ke sini entah sejak kapan, pemuda itu menelannya tanpa air seakan sudah terbiasa dengan kebejatan rasa sakit dan rutinitas minum pil pahit.

Sagara tidak bangkit dari posisinya yang telah terjatuh pada lantai yang dingin. Dia sedang menunggu dadanya yang sakit berangsur membaik, rasanya kencang dan Sagara tidak punya perlawana. Berlahan dadanya semakin membaik, meski beberapa jalaran rasa tak nyaman itu masih terkunci di bagian kiri tubuh Sagara.

Ponsel Sagara berbunyi, untung berada dalam saku jadi dia bisa merogohnya tanpa kepayahan.

"Sagara!" suara khas itu menerpa gendang telinganya, entah kenapa setelah mendengar suara itu dengan tiba-tiba Sagara akan tersenyum.

Orang gila mana yang sekarat di atas lantai tapi tersenyum hanya karena suara?

"Janika?" sapa Sagara.

"Kamu masih mau jadi kameramen tidak?" tanya Janika.

"Kamu tahu, 'kan aku tidak diizinkan Ibu?"

"Itu kalau jadi kameramen film. Ini kameramen diriku sendiri, nggak memakan waktu yang lama."

Re-sign [Terselesaikan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang