6. Desert

166 22 7
                                    

Hari-hari Janika sekarang sudah sibuk. Dia menawarkan banyak pihak untuk tergabung menjadi sponsor rumah produksinya, karena Janika merupakan sosok aktris papan atas dengan kelakuan yang sangat baik dan ditambah dengan namanya yang naik daun, hal-hal seperti mencari sponsor tidaklah terlalu sulit. Satu dua orang menolaknya karena Janika tidak berpasangan dengan Ares, atmosfer keduanya masih menguar di masyarakat sehingga baiknya Janika tetap bergandengan dengan Ares. Akan tetapi, bagi Janika itu permainan kuno industri hiburan. Dia tidak peduli, peran ya peran. Ares dan Janika tidak punya hubungan di luar naskah.

"Kayaknya pemeran adiknya Sagara harus kita pilih ulang, deh, Kak." Janika mengangguk mendengarkan tutur penulis naskah, memang Ruby yang paling tahu karena dia penulis dan juga sosok adik Sagara yang berada di naskah, tentu yang lebih tahu dari Ruby hanyalah Tuhan.

"Iya, sih. Coba kamu cari referensi, kalau mau artis-artis baru juga boleh. Hemat budget, haha!" Ruby hanya menjawab celoteh Janika dengan jari jempolnya.

"Sagara sehat, 'kan?" tanya Janika, semua pesan dan juga panggilannya diabaikan oleh Sagara.

"Kak Sagara di rumah sakit, Kak. Kakak nggak tahu?"

***

Selalu seperti itu, Sagara tidak pernah menghubunginya saat masuk ke dalam rumah sakit. Intinya hari ini Janika ingin marah-marah kepada laki-laki menyebalkan yang menyembunyikan rasa sakitnya sendirian.
Mau ditaruh di mana wajah Janika yang sedikit-sedikit mengadu? Hanya terluka karena gunting kuku saja sudah mengaduh manja ke Sagara, sekarang justru pemuda itu diam saja kala penyakitnya itu memaksa dia tak berdaya.

Langkah Janika terhenti di depan pintu ruang rawat ia mendengarkan sesuatu. Seperti dialog dokter yang benar-benar penting, tetapi tidak enak untuk didengar.

Sekarang berita buruknya penyumbatan di pembuluh darah Sagara hampir benar-benar sempurna. Sekitar 90%, ring jantung yang kita pasang sepertinya tidak benar-benar bekerja dan justru menimbulkan masalah baru  bagi kesehatan jantungnya. Sebaiknya bersiap-siap untuk operasi bypass, semoga tidak perlu karena beresiko tinggi. Jangan biarkan Sagara terlalu stres dan beraktivitas berat.

Sepertinya hanya itu, kemudian pintu terbuka. Pria dewasa dengan jas putih itu menatap Janika sebentar, lalu berlalu begitu saja karena dialognya dengan Bu Erna saja sudah cukup.
Janika mematung di tempat, ia tidak pernah berpikir bahwa dia harus menangis tanpa akting. Ini natural, dia menangis di depan pintu ruang inap Sagara sekarang.

***

Sagara terbaring di atas ranjang, pakaian rumah sakit itu hanya sekadar menempel. Kancing-kancing itu tidak terkait dan membiarkan beberapa alat menempel di dada Sagara, pemuda dengan paras tampan itu memejamkan mata dengan tidak nyaman. Sesuatu yang menyumpal hidungnya itu justru adalah hal yang benar-benar bernapas sekarang, karena ketidakberdayaan Sagara yang tidak bernapas sendirian .

Tadi pagi menurut kesaksian Ibu, Sagara merintih kesakitan merangkak ke kamar Ibu untuk meminta pertolongan. Suara parau Sagara hampir tidak terdengar, dia hanya bisa menyeret tubuhnya berlahan sambil memegang dadanya dengan ekspresi kesakitan. Seperti biasa, nyeri di dadanya datang dengan instan setiap berpikir terlalu berat, Ibu menangis saat mencoba menceritakan kembali bagaimana kronologi Sagara bisa berakhir seperti ini.

"Janika, bisa tolong temani Sagara selamanya? Jangan tinggalkan Sagara meski kamu ingin." Ungkapan rasa takut Bu Erna mungkin mewakili Sagara, tapi sang Ibu lebih mengenal anaknya yang tidak bisa bersikap egois. Pemilik wajah tampan itu tidak bisa memikirkan dirinya sepihak, tidak mungkin Sagara juga berucap hal yang sama meski Sagara setuju bahwa ia tidak suka Janika pergi.

"Nika nggak mungkin ninggalin Saga, Ibu. Ibu, Nika bukan orang yang seperti itu." Bu Erna semakin menangis, karena melihat Janika seperti melihat dirinya sendiri.

Re-sign [Terselesaikan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang