13. Conceal

138 28 11
                                    

"Menurut gue, Sagara kaya bapak-bapak, sih. Dikit-dikit sakit, kena kabar buruk sedikit sakit." Komentar Kelvin tidak sepenuhnya salah, justru itu benar. Hanya saja bagi Janika itu tidak layak didengar.

Entah sejak kapan Sagara mengambil alih peran orang tua bagi Ruby, dulu sebagai ayah sekarang harus sekaligus menjadi Ibu. Perasaannya juga tidak kalah bapak-bapak karena dia sekarang sedang sakit hati.

"Sagara lagi nggak bisa toleransi candaan lo, Vin. Kalau lo nggak punya kata-kata bagus buat didenger mending lo pulang," ucap Janika sambil mengambil parsel berisi pir dan apel yang dibawa Kelvin, yang lebih tua pun beringsut pergi karena mungkin paham bahwa Sagara benar-benar seterpuruk itu.

Sandi apartemen Sagara dan Janika sama, jadi mereka leluasa untuk menjadi penyusup satu sama lain. Pemuda itu sedang dalam aktivitas favoritnya, yaitu memandang gemerlap bintang. Dia duduk di balkon yang menghadap ke arah utara, jalan raya tampak berkelip lebih mewah dibandingkan bintang malam ini.

Janika mengambil tempat duduk, di balkon Sagara terdapat dua kursi dan satu meja bundar, tempat ini selalu menjadi tempat mereka berdua bertukar cerita saat senggang. Parsel buah itu diletakkan lalu Janika ikut memandang dunia malam.

"Hahh! Kelvin emang nggak kenal Sagara banget, dia nggak tahu Sagara nggak suka pir. Untung ada apel," ucap Janika sedang berusaha mencairkan suasana, dia mengambil pir lalu memakannya begitu saja.

Sagara tidak terlalu tertarik dengan kehadiran Janika, secinta apa pun dirinya kepada sang kekasih Sagara hanya merasa ingin sendirian. Bermonolog dengan bintang, menyampaikan rasa ketidakbergunaannya. Penyebab Ibu meninggal dan tidak menjaga Ruby dengan baik.

"Kalau aku nggak mikirin kamu mungkin aku udah lompat dari tadi," ucap Sagara.

"Aku selalu ada di sini jadi kamu nggak perlu lompat, lagian Sagara masalah ini memang masalah yang nyakitin kamu banget. Tapi, kita bisa mulai dari awal kalau kamu merasa  gagal."

Janika mengelus punggung Sagara, setelah terjatuh pingsan kemarin dia harus lebih banyak beristirahat. Tubuh itu lebih sering terkena penyakit ketika sedang stres. Sekali terkena penyakit jantung koroner sepertinya adalah tanda bahwa seseorang harus selalu bahagia di sisa usianya.

***

Ruby dan seorang pemuda seusia sama-sama berlutut di depan Sagara. Keduanya menunduk, sama-sama merasa bersalah. Untuk masuk Universitas mahal itu Sagara sudah menyisihkan uangnya sejak bekerja, alasannya bekerja keras di lingkungan tanpa istirahat, berangkat pagi pulang dini hari seperti sia-sia sekarang.

Sagara duduk di sofa rumah tua mereka, Janika yang membujuk Sagara agar mau datang dan memberikan waktu untuk Ruby menjelaskan apa yang telah terjadi selama jauh dari sang keluarga. Mata Sagara merah, kecewa sudah beraduk dengan amarah dalam dadanya. Sagara tidak mau menatap Ruby, dia menatap objek lain untuk tetap tenang.

"Maaf, Kak. Saya janji bakal tanggung jawab." Anak yang terlihat seusia Ruby itu berbicara takut-takut.

"Gimana caranya tanggung jawab?" tanya Sagara, gerakan ini tiba-tiba sampai pacar Ruby tersedak. Sagara sedang mencekik leher pria tersebut, Ruby kaget tapi tidak bisa menolong. Pemuda itu mengaku bernama Roy tadi, wajahnya merah karena Sagara mencegahnya untuk bernapas.

"Jagain Ru...by." Sagara melepas kasar cekikan itu sambil tersenyum meremehkan. Menjaga Ruby sekarang terdengar seperti dialog yang konyol, karena Sagara gagal.

"Eh, Nak. Dengerin baik-baik. Aku! Sudah jagain Ruby semenjak kamu belum sunat! Dan kamu! Kamu yang membuat Ruby tidak terjaga!" Sagara menekankan kalimatnya sambil menunjuk pelaku.

"Saga, jangan terlalu marah." Janika mengingatkan, kondisi pemuda itu sedang tidak baik-baik saja.

"Kak aku mohon, tolong maafin aku. Jangan marah, ini benar-benar pilihan kami berdua. Karena kami saling mencintai," ucap Ruby, seharusnya Ruby tidak usah bicara karena sekarang itu membuat Sagara benar-benar naik pitam.

Re-sign [Terselesaikan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang