12. After that Day

152 29 26
                                    

Benar kata Sagara, dunia ini tidak pernah libur. Terus berputar meski pun perasaan hancur lebur itu hampir mengubur kewarasan Sagara. Setidaknya Sagara cukup beruntung, di luar sana banyak anak yang kehilangan Ibunya, tapi tidak semua orang akan memiliki Janika di saat-saat kehilangan segalanya.

Kemarin-kemarin Sagara memutuskan untuk tinggal di apartemen, tinggal di rumah itu sendirian sepertinya akan membuat Sagara merasa hampa setiap detik karena Ruby sudah tidak tinggal di rumah. Gadis itu harus ke luar kota untuk menempuh pendidikan seperti yang Sagara mau, dibanding dia sedih karena mengenang kenangan di rumah lebih baik Sagara pindah. Pemuda itu akan mengunjungi rumah tua mereka suatu hari nanti, bagaimana pun juga Sagara tidak mungkin berhenti merindukan Ibu.

Sebelum pergi dari rumah ini, Sagara mengepak barang. Ia seperti mendengar dialog-dialog pagi hari sang Ibu yang memarahi Ruby, mendiang-mendiang suami Bu Erna.

Ayah Sagara pergi karena sakit, ayah Ruby meninggal karena sakit, dan Ibunya meninggal karena kecelakaan. Mereka semua pergi, tapi dunia masih berjalan begitu saja.

Sagara menyandarkan tubuhnya ke kasur, ia duduk di lantai yang dingin. Helaan napas berat hadir menemani sepi dan sunyi. Setelah memasukkan celana dalam dengan rapi Sagara menutup koper, tidak banyak yang dia bawa. Hanya semua baju dan juga kamera, barang-barang yang lain biarkan menjadi penghuni abadi di sini.

"Ibu, Sagara sakit. Butuh disayang Ibu," monolog Sagara kepada ruang hampa.

***

Sagara masuk ke dalam elevator dengan satu koper besarnya, ternyata Janika juga menyusul bersama Kelvin yang membawa beberapa koper yang lebih besar dari milik Sagara. Lift itu sudah penuh padahal hanya tiga orang kurus yang menghuni, sisanya diisi oleh koper Janika yang berwarna mencolok.

"Orang gila lo Janika!" Kelvin selalu bermulut kasar menurut Sagara, dia juga manager Sagara tetapi intensitas pertemuan mereka tergolong jarang. Loyalti film itu besar pun kadang Sagara menerima beberapa tawaran seperti menjadi bintang tamu dan lainnya, hanya saat tubuh Sagara tidak terlalu lelah jadi Kelvin tidak segalak itu terhadapnya.

"Kamu kenapa bawa koper, Janika?" tanya Sagara. Senyuman Janika tidak pernah luntur sejak tadi, Sagara mengerutkan keningnya.

"Karena ...," ujar Janika menggantung kalimat, dia keluar dari bilik ini tepat setelah pintu elevator terbuka, Janika lantas menghampiri salah satu pintu dan menekan tombol smartdoor, "aku tinggal di unit 2001."

Sagara tersenyum menarik koper keluar lalu menghampiri unit yang berhadapan dengan milik Janika. Unit 2002 adalah milik Sagara, lucu sekali tiba-tiba menjadi tetangga.

"Kenapa nggak tinggal bareng sekalian lo berdua?" tanya Kelvin yang sedang rempong dengan barang-barang Janika yang harus dikeluarkan.

"Ide bagus," ucap Janika lantas berlari kecil menghampiri Sagara. Sagara juga tersenyum, setelah menekan kombinasi angka rahasia pemuda itu membiarkan Janika masuk.

"Heh! Janika!" Kelvin berteriak di luar, masa bodo tempat ini kedap suara.

***
"Kamu udah punya rumah di Pondok Indah ngapain tinggal di sini, Janika?" tanya Sagara, dia sibuk mengeluarkan pakaian dari dalam koper.

"Ya aku mau deket sama kamu terus! Aku tahu biasanya kameramen itu punya pacar lebih dari satu." Sagara menggeleng-gelengkan kepala, tangannya memasuk-masukkan pakaian ke lemari sementara Janika sudah mengakuisisi ranjang.

"Kamu pernah jadi kameramen Lidya gak, sih?" tanya Janika, Sagara menggumam tanda mengiyakan.

"Lidya udah punya anak loh, lucu banget. Nih kamu lihat," ucap Janika sambil menunjukkan ponselnya yang sedang menyala, Sagara menghentikan kegiatan lalu menatap ponsel Janika. Pemuda itu selalu menghargai apa pun yang Janika tunjukkan, itu hal kecil yang selalu disukai oleh sang gadis.

Re-sign [Terselesaikan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang