11. Suffer

145 27 18
                                    

Air mata Sagara tidak bisa ditahan, terus mengalir sampai rasanya dia akan pingsan. Melihat sang Ibu dimasukan keranda, melihat semua orang mendatanginya untuk berbelasungkawa, hal-hal yang membuat Sagara benci mengakui bahwa hari ini adalah fakta. Janika memeluk kekasih yang seperti ikut mati bersama Ibu, tidak mengucapkan kata apa pun selain menatap jasad ibunya dengan tatapan kosong.

"Mas, jenazah Bu Erna sudah siap." Mendengar ucapan salah satu pengurus jenazah, Sagara menekan janur hidung, rasanya mata benar-benar panas masih banyak air mata yang hendak keluar. Pemuda itu menarik napas lalu mengangguk, sebentar lagi dia juga harus andil penuh untuk mengistirahatkan sang Ibu.

Sagara melepaskan pelukan Janika lalu bergabung bersama para tetangga yang bersiap mengebumikan wanita yang tertabrak mobil hari hari ini. Sagara merasa bersalah, kenapa dia harus membuat Ibu terburu-buru, anak tidak berguna yang membuat Ibunya mati. Apa terlalu sulit untuk membeli obat sendiri? Sekarang sakit yang Sagara rasakan lebih dari serangan-serangan yang pernah ia dapati.

"Kak, aku takut." Ruby bergetar, ia pernah kehilangan Ibunya sendiri juga, tapi sekadar karena bercerai lalu hilang. Kehilangan ayah mungkin sama sakitnya dengan kehilangan ibu sekarang, kemudian Ruby takut Sagara akan hilang juga. Janika memeluk tubuh Ruby yang benar-benar terasa dingin, semua orang sedang tidak baik-baik saja sekarang.

"Kak Sagara pasti ada buat kamu, gantiin posisi Papa kamu dan Kak Janika mau menggantikan posisi Ibu. Meski mereka tidak tergantikan, kita janji nggak akan tinggalin Ruby."

Lebih baik tinggalkan Ruby sendiri, seperti Ibu biologisnya yang pergi antah berantah yang pasti Ruby tahu dia bahagia meneguk minuman enak dan mengkonsumsi makanan lezat. Tolong jangan tinggalkan Ruby untuk abadi di dalam pemakaman, itu menyakitkan.

"Sagara, kamu?" Janika ingin menghentikan langkah Sagara yang ikut serta menjadi bagian dari pengangkat keranda, urung karena tatapan Sagara dingin.

"Mas, nggak usah ngangkat keranda nggak apa-apa. Ikutin aja," ucap salah satu pemuda, mereka tahu Sagara menjalani pasca operasi dan tidak diperbolehkan mengangkat sesuatu yang berat. Menurut Sagara Ibu tidak berat, apalagi digotong empat orang sekaligus.

"Ini penghormatan terakhirku, Mas." Tidak ada yang bisa mencegah Sagara, suaranya serak dan dingin. Sagara diperbolehkan untuk mengangkat Ibu, tapi dengan syarat di bagian kanan karena bagian tubuh sebelah kirinya rawan.

Sagara mengusap air matanya kasar setelah tandu keranda mantap menaiki pundak, ternyata yang berat bukan Ibu, tapi menerima kenyataan bahwa di dunia ini sudah tidak ada Ibu.
Sagara melangkahkan kaki jenjangnya sesuai aba-aba, dadanya bergemuruh karena dokter tidak pernah hanya sekadar menakut-nakuti Sagara. Pemuda itu tidak takut mati sekarang, hidup tanpa sosok Ibu itu mengerikan.

***

Elusan lembut Janika menemani prosesi paling mengerikan yang disaksikan Sagara di atas batu besar. Pemuda itu melihat orang-orang mengubur Ibu, tanah-tanah itu sedang mengembalikan Ibu ke dalam bumi. Sagara menghela napasnya yang berat, dia kesulitan bernapas karena dadanya sesak, sebab mengapa dia harus duduk di batu besar tanpa ikut memegang cangkul di sana. Ruby menjerit, Sagara juga ingin ikut tapi tenaganya sudah habis.

"Saga ... aku nggak bisa membuat kamu lebih baik." Sagara menatap Janika yang tampak merasa bersalah, tangan dingin pemuda itu menggenggam tangan Janika erat.

****

"Obatnya Kak Sagara, nanti Ruby bantu beli, ya misal ini sudah habis. Nanti setiap sebulan sekali bawa Kak Saga ke rumah sakit untuk check up, Ruby ngerti, 'kan?" Terdengar suara Janika, Sagara sedang mengunci diri di kamar setelah prosesi pemakaman selesai.

Ruby dan Janika sepertinya sudah mencoba untuk hidup normal. Menggantikan peran Ibu sebisa mungkin, tapi entahlah Sagara masih sakit hati atas kepergian Ibu yang mendadak. Sagara menekan dadanya, meski sudah operasi tetap saja tidak berguna.

Re-sign [Terselesaikan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang