Sagara berada di bawah gemerlap bintang sementara Janika sedang menjadi bintang yang gemerlap di acara penghargaan. Sagara tersenyum, Janika mendapatkan penghargaan malam ini sebagai pemeran utama paling memukau untuk film ke sekian yang dibintangi Janika dan Ares. Tentu, Sagara merasakan kebanggaan tersendiri untuk Janika dan mahakarya yang seorang Sagara ikut serta di dalamnya. Seharusnya ada penghargaan untuk kameramen terbaik untuk Sagara, dia berbangga diri karena dia menangkap momen-momen yang detail di sana.
"Penghargaan ini juga aku persembahkan untuk kameramen terbaik di dunia ini. Tanpa dia mungkin kalian tidak akan pernah menyadari betapa cantiknya aku di film ini hahaha, terima kasih Sagaraa!" Sagara tersenyum menatap layar ponselnya, Janika mengayunkan plakat itu ke kamera.
"Kak, kok masih di luar?" tanya Ruby, dia datang membawakan air putih dan juga makanan, ada satu tabung obat kecil yang hadi di sela-sela gelas dan piring. Turut bergabung bersama kakaknya yang sedang memangku ponsel, menatap Janika yang sedang sibuk untuk menjalani aktivitasnya di luar sana.
"Iya, pengen di luar aja, sih."
"Luka operasinya sakit?" tanya Ruby, sebenarnya iya. Hanya saja menurut Sagara ini adalah luka yang wajar, tapi tidak nyaman untuk dipakai tidur jadi dia berinisiatif untuk pergi mencari sedikit udara.
Sagara mengambil tabung obat dan juga air minum. Selesai operasi setiap harinya dilalui dengan tidak berarti, hal-hal ringan pun dibantu oleh keluarganya. Sagara sebenarnya tidak suka, tapi dia adalah orang yang wajib berhati-hati dengan banyak hal sekarang ini. Banyak aktivitas yang tidak dapat dia lakukan sendiri, bukan karena tidak bisa, tapi karena tidak diizinkan seakan-akan jahitan di dadanya akan koyak jika melakukan semuanya sendiri.
"Sebentar lagi Agustus, mau nonton film kita." Ruby mengayunkan kakinya karena mereka duduk di atas beton yang cukup tinggi.
Sagara menenggak obat yang harus dia minum karena selepas dadanya dibedah, rasanya sakit meski bukan organ yang nyeri hanya area sekitar luka sayatan. Rasanya sakit setiap malam sampai membuatnya susah terlelap, obat ini membuat Sagara sedikit tenang lalu tertidur.
Pemuda itu mengusap rambut adiknya, dia pun tidak sabar cepat-cepat ke premier film. Menyaksikan mimpi adiknya nyata, menyaksikan Ibu bangga dan menyaksikan Ruby bahagia.
"Nanti, Kak Saga pasti dapet penghargaan juga kaya Kak Janika."
Sagara tidak tahu, ia tidak punya impian muluk-muluk seperti itu. Sukses, bergelimang harta, punya pencapaian, dan lain sebagainya. Mungkin dulu pernah, pernah berpikir suatu hari nanti dia akan memiliki segala yang dia perlukan untuk diakui sebagai pria yang mengagumkan. Sudah lama sekali sebelum dia jatuh sakit, segala yang ia punya ditukarkan dengan obat agar tetap hidup.
"Kayaknya Ares lebih pantes, deh."
"Ah, Kak Sagara yang terbaik." Ruby menyenggol tubuh kakaknya ringan.
"Kak Saga harus mikirin diri sendiri, jangan mikirin Ruby, Ibu, sama Kak Janika aja."
"Kalau Kakak nggak mikirin kalian, Kakak nggak bakal bangun hari itu. Karena nggak penting-penting amat, itu bagus Ruby."
"Justru karena Sagara itu penting, semua orang nggak sanggup kehilangan Sagara." Ruby menggenggam tangan kakaknya yang akhir-akhir ini menghangat, tidak dingin dan terasa sakit. Sebenarnya gadis belia itu ingin memeluk erat Sagara setiap membicarakan soal kehilangan, tapi mungkin itu akan melukai bekas operasi Kakaknya jadi genggaman erat inilah yang akan Ruby berikan.
***
Mengendarai motor keren ke bioskop adalah ide bagus, tapi Sagara tidak mendapatkan izin mengemudi selama mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit yang sering membuat fokusnya hilang dan mengantuk secara tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-sign [Terselesaikan]
Teen Fiction"Tanpa Sagara, lautan dan samudra hanya akan menjadi gurun besar seperti Sahara." Seorang aktris besar jatuh cinta justru hanya karena hal kecil. Membaca cerita lalu tidak terima dengan endingnya yang begitu pilu, Janika Sahara terobsesi dengan isi...