9. Feeling Guilty

159 27 11
                                    

Bu Erna membuka lemarinya, mengobrak-abrik apa yang bisa dijual untuk keberlangsungan hidup sang putera. Surat-surat perhiasan dikumpulkan dengan tangan bergetar, ia melepaskan anting-anting di telinganya sambil terus terisak. Sejenak dia bersyukur membeli beberapa perhiasan untuk terlihat cantik, meski dalam lubuk hatinya yang terdalam yang dipikirkan hanyalah dana darurat untuk Sagara.

Sertifikat-sertifikat di lemari dipilah-pilih. Mana yang bisa dia gadaikan untuk membayar operasi yang secara mendadak dijadwalkan hari ini karena Sagara dalam kondisi yang sangat tidak terduga. Setelah kejang detak jantungnya berhenti, mendadak air mata yang sempat terhenti itu jatuh kembali. Bayangan akan kematian Sagara terus terngiang sampai menderita nyeri kepala.

"Ibu?" Ruby memanggil, wanita itu menghapus air mata setelah mendengar suara lirih anaknya. Mungkin Ruby takut karena kemarin dia disalahkan. Hari ini justru Erna yang merasa bersalah, seharusnya tidak ada yang dia maki. Semua ini juga berkat kekeraskepalaan Sagara, atau skenario dunia memang seperti itu.

Meski sulit Erna tersenyum ke Ruby. "Ruby, sini Ibu lepas gelangnya. Ibu pinjam dulu, ya? Nanti kalau toko sudah ramai lagi, Ibu ganti." Bukannya memberikan gelang, Ruby menyetorkan sebuah buku tabungan. Hasil kerja keras Sagara selama ini, sebagian dimasukkan ke dalam sana untuk Ruby. Untuk kuliah Ruby, untuk kehidupan Ruby yang lebih baik.

"Nanti Kak Saga marah, Nak. Dia mau Ruby tetap sekolah." Selain merasa bersalah pada Ruby, sang Ibu juga merasa bersalah kepada mendiang ayah Ruby. Dulu beliau mencukup kebutuhannya dan Sagara, sekarang dia tidak bisa memperlakukan Ruby sama. Ini tidak adil, bukan sebuah kebijakan yang tepat menyuruh salah satu anak mengalah demi yang lain. Erna merasa telah menjadi Ibu yang buruk.

"Ruby mau Kak Sagara marah, justru Ruby mau denger Kak Sagara marah! Kakak harus bangun untuk marah!" Ruby menangis kencang, kedua perempuan itu kemudian berpelukan saling menyalurkan kekuatan.

***

Sebuah kaleng bir disuguhkan oleh seseorang yang langsung duduk di sampingnya. Ares menoleh setelah menerima minuman itu, Janika mungkin sudah sangat stres sekarang. Entah itu lebih parah dari Ares atau tidak.
Ares bukan orang jahat, dia tidak punya maksud melukai Sagara. Pertikaian ada di dalam naskah dan dia sering sekali dua kali menyelesaikan masalah sesama pria dengan cara demikian, begitu juga Sagara dia juga tidak keberatan jika harus berkelahi.

Janika meneguk bir, menatap ujung ruangan yang sebenarnya bukan ruang operasi. Ruangan itu tersembunyi di balik ruang-ruang lain, tapi Janika tahu ego Ares begitu tinggi. Pasti banyak yang mengusik pikirannya sampai selalu datang ke rumah sakit dan berdiam diri di taman seperti orang bodoh.

"Tendangan lo itu nggak seberapa, kok buat Sagara." Janika memulai pembicaraan.

"Ya, karena dia juga nendang gue brutal, 'kan?" tanya Ares, bunyi minuman kaleng yang dibuka terdengar. Anak dua puluh satu tahun itu menegak bir tanpa ragu, kemudian ikut mengawang ke gedung rumah sakit.

"Dia akting, 'kah di dalem? Padahal tonjokannya kuat banget, siapa sangka?" Ares menekan ujung bibirnya yang robek, Janika tertawa kecil.

"Kita punya harapan untuk tunggu Sagara berhasil bertahan dan lo bisa minta maaf." Janika tersenyum meski senyuman ini terlihat menyedihkan, matanya sembab sampai terlihat hilang.

Kedua pemilik wajah rupawan itu saling pandang satu sama lain.
"Ares, ayo kita buat film yang bagus untuk ditonton Sagara setelah ini." Janika memberikan telapak tangannya ke Ares, pemuda itu menepuknya sebagai tanda persetujuan.

Janika tersenyum lalu ingin menandaskan isi minumannya, urung  karena Ares merebutnya paksa. Pemilik tubuh ideal itu meneguk bir Janika sampai habis.

"Jangan mabuk, nanti lo cium gue lagi!" Janika tertawa mendengar Ares.

Re-sign [Terselesaikan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang