5. JPH

161 24 5
                                    

Makan malam pertama setelah Sagara keluar dari rumah sakit terasa seperti rapat direksi. Jajaran tahu dan tempe seakan tidak diindahkan lagi, Sagara suka menu ini hanya saja mungkin dia sedang tidak berselera untuk berebut potongan tempe di atas piring dengan Ruby.
Bahkan Janika turut diam mematung, awalnya hanya ingin turut serta di dalam jamuan sederhana ala rumah tangga keluarga Sagara. Dia membawa beberapa makanan dari tempat makan padang agar tidak merusak tema masakan rumah, tapi dia justru harus ikut-ikutan diam karena Sagara sedang mode kepala rumah tangga.

"Ibu, tidak usah merasa bersalah kalau Saga bekerja. Itu bukan bekerja, itu bersenang-senang apalagi artisnya Janika." Tidak ada raut jenaka dari sang pembicara, akhirnya Janika hanya menahan senyum meski hatinya sedang terombang-ambing dan tergelitik kupu-kupu yang berterbangan di dalam perut.

"Ibu buat kue juga karena suka, 'kan?" tanya Sagara.

"Iya Sagara, Ibu tahu. Masalahnya kamu selalu sakit waktu bekerja, karena lembur. Karena gaya hidupmu yang tidak teratur itu!" Janika sebenarnya ingin menjawab perkataan calon ibu mertua, akan tetapi dia juga sama sekali tidak bisa menjamin keselamatan Sagara.

"Aku nggak mau mati sia-sia, Ibu!" Sagara sekarang merengek, dia hanya anak laki-laki satu-satunya yang selalu dimanjakan Ibu.

"Resiko kamu tanggung sendiri, Saga. Ibu cuma mau kamu istirahat dan tidak terlalu lelah," ucap Bu Erna.

Keras, di balik sifat Sagara yang lembut dan baik hati dia memang selalu keras. Entah itu bekerja keras atau keras kepala, sama persis dengan mendiang ayah Sagara. Mata wanita paruh baya itu berkaca-kaca, haruskah dia kehilangan yang ke sekian kalinya. Suami pertama, suami kedua, apakah kali ini dia juga sedang dihadapkan dengan kehilangan Sagara? Jantung hatinya yang sangat berharga. Semua laki-laki yang dia cintai di bumi, kembali ke bumi.

"Aku nggak akan terlalu capek, Ibu."

Setelah hening yang begitu panjang, suasana menjadi tidak enak. Baik Sagara mau pun Bu Erna tidak saling menatap, keduanya sibuk memandang objek tidak penting untuk sekadar berhenti melakukan kontak, entah itu vas di ujung ruangan atau saklar lampu di sebelah pintu.

"Kak Janika bawa apa?" tanya Ruby. Dia memecah kecanggungan dengan pura-pura bersemangat dengan buah tangan dari Janika.

Karena Janika adalah seorang ahli berpura-pura, dia aktris yang berbakat sehingga mengimbangi akting amatir Ruby bukanlah hal yang sulit. Dia dengan segera mengeluarkan satu demi satu makanan yang dia bungkus sebelum kemari.

"Waw rendang, ini buat Ruby?" tanya Ruby.

"Iya buat Ruby, Kak Sagara dan Ibu juga kalau mau."

Sagara merebut rendang dari tangan Ruby, dia juga sedang mengimbangi akting dua gadis itu dengan berpura-pura bertingkah seperti biasanya---berkelahi dengan Ruby.

"Aaaaa Kakak!" Rengekan Ruby terdengar melengking.

"Ini buat Kak Saga!" Janika tertawa karena melihat Sagara yang menyebalkan untuk Ruby membuat hatinya menghangat, sosok kakak pada umumnya. Entahlah Janika tidak pernah merasakan punya sosok Kakak, melihat pemandangan ini membuat Janika segera ingin memiliki kartu keluarga sendiri. Nama Sagara paling atas dan nama Janika Sahara di urutan kedua.

***

"Maksudnya gimana? Cerita aku yang nggak seberapa itu difilmin?" tanya Ruby dengan perasaan yang campur aduk. Ini seperti khayalannya sebelum tidur, cerita-cerita indah kelewat tidak masuk akal yang bisa membuat tubuhnya tenang lalu terlelap.

Mereka duduk di ruang tamu, sepertinya tema hari ini adalah rapat. Setelah rapat tegang di meja makan, rapat kedua yang tidak masuk akal dipindahkan ke kursi rotan dan meja kaca kecil dengan hiasan vas kayu bunga mawar.

Re-sign [Terselesaikan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang