"Aku akan selalu menjagamu. Hidup ataupun mati. Janjiku tidak akan pernah aku ingkari. Selamat beristirahat, adikku tercinta. Seluruh rasa sakit mu telah lepas bersama jiwamu."
- Nam Siwon
Happy reading
12 tahun yang lalu
12 November 2003
Brakk!
"Sial!"
Seorang pria bongsor duduk bersila di atas tatami dengan gestur tubuh yang membungkuk. Dia berusaha menopang tubuhnya dengan satu tangan sementara tangannya yang lain menuangkan soju ke dalam gelas kertas berwarna putih yang tidak terlalu besar.
Wajahnya berantakkan. Kantung mata membekas di bawah matanya, bibirnya kering bak tanah tanpa air, matanya sayu dan memerah. Tapi dia masih berusaha keras untuk meminum sebotol soju lagi padahal dirinya sudah sempoyongan seperti akan tumbang dalam beberapa detik kemudian.
Pukul 1 siang, namun cuaca sedang hujan deras. Cocok sekali dengan suasana hatinya saat ini. Di rumah duka yang kini sudah tidak ramai orang yang datang di sana, hanya ada dia dan keponakannya yang masih berada di ruangan tempat foto sang bunda terpajang didekat rangkaian bunga Krisan. Serta beberapa kerabat dekat yang terasa jauh karena Siwon tidak ingin berbicara dengan siapa-siapa sekarang.
Dirinya terlihat seperti mayat hidup yang berjalan dipermukaan bumi. Hampa dan kosong, tidak ada tanda-tanda kehidupan pada wajahnya. Yang dia lakukan hanyalah terus meminum beberapa botol soju hingga dirinya tidak lagi sadar.
Hari ini adalah hari pemakaman sang adik. Adiknya itu pergi meninggalkannya lebih dulu tepat tengah malam atau beberapa jam yang lalu. Dua hari sesudah operasi, ia melihat adiknya itu baik-baik saja. Tapi setelah ia mendengar kabar bahwa Nam Jae-Hwa telah menghembuskan napas terakhirnya pada pukul setengah dua belas tadi malam, ia merasa seperti disengat listrik bertegangan tinggi seketika.
Nam Siwon tidak mampu menahan beban tubuhnya lagi. Dia seketika terduduk lemas di atas lantai keramik Rumah Sakit dengan pandangan kosong. Pikirannya berusaha untuk menelaah kenyataan yang terjadi dan yang terdengar di telinganya.
Antara percaya dan tidak percaya. Tidak, Nam Siwon tidak ingin percaya pada kenyataan itu. Dia tidak ingin percaya bahwa adik tersayangnya kini pergi lebih dulu meninggalkannya, meninggalkan anaknya yang masih berusia 5 tahun dan belum tahu apa-apa.
Dia tidak tahu harus menjawab apa ketika keponakannya itu bertanya kepada dirinya tentang bundanya yang kini terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Dia semakin menghujamkan Siwon banyak pertanyaan ketika dia melihat para perawat melepas seluruh selang yang berada ditubuh sang bunda, dan menutup seluruh tubuhnya dengan kain putih.
Keponakannya itu. Nam Jaemin saat itu tidak tahu, sang bocah laki-laki tidak tahu apa yang terjadi kepada bundanya dan kemana sang bunda akan dibawa. Dia belum mengetahui bahwa sang bunda sudah tidak memiliki waktu untuk menemaninya lagi didunia. Dan dia belum mengetahui bahwa sang bunda sudah tidak bisa melihatnya tumbuh dibeberapa tahun ke depan.
Bahu pria bongsor itu bergetar. Terdengar suara cekikikan kecil, namun ketika mengangkat kepala mata merahnya itu basah dan seketika air mata mengalir di pipinya. Dia merasa lucu sekaligus sedih. Dia tertawa sekaligus menangis.
Dia merasa lucu dengan keadaannya kini, dan tertawa dengan nasibnya. Namun, dia juga sedih sampai-sampai ia harus kembali menangis dengan suasana saat ini. Dia tidak percaya bahwa adiknya sudah tidak ada lagi dihadapannya. Ia sudah tidak bisa melihat senyuman wanita itu, tidak bisa mendengar suara tawa wanita itu lagi. Tapi sialnya, semua senyuman terbayang dibenak Nam Siwon. Semua tawa terdengar di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story In The Rain
Teen Fiction❝Ketika sang hujan menyimpan sebuah cerita kelam dari si pengagumnya.❞ Tentang hujan. Tentang cinta. Tentang keluarga. Tentang pertemanan. Dan, tentang si pengagumnya.