Langkah Jake akhirnya terhenti pada sebuah rumah di tepi danau. Rumah kayu yang kini telah ditumbuhi tanaman rambat membuat siapapun akan melihatnya akan bergidik ngeri. Namun tidak dengan Jake, baginya rumah itu masih sama seperti saat terakhir ia meninggalkannya berpuluh-puluh tahun lalu. Rumah yang menyimpan kenangan hangat dengan sebuah keluarga yang begitu harmonis, sebelum akhirnya semua itu menjadi sebuah memori indah yang hanya dapat ia ingat.
Tanpa ragu, Jake membuka pintu kayu tua itu dengan sebuah kalung berbentuk kunci yang tak pernah lepas dari lehernya. Suara decitan pintu akibat gesekan dengan lantai memvalidasi keadaan rumah itu yang telah lama tidak berpenghuni. Jake memasuki rumah tanpa mempedulikan ocehan dari Jay yang sedari tadi mempertanyakan apa yang sedang mereka lakukan saat ini serta mencari-cari sinyal untuk kembali terhubung dengan Steve.
"Kenapa sih kita harus selalu berakhir ditempat terbengkalai gini?" gerutu Jay yang telah duduk manis di salah satu kursi kayu yang masih layak pakai.
Jake menghiraukan ucapan Jay. Lelaki itu menuju ke ruangan pertama untuk mencari sesuatu yang mungkin saja dapat mengantarkannya untuk membongkar semua kejahatan sang ayah selama puluhan tahun ini. Jake ingat terakhir kali ia meninggalkan rumah ini, kedua orang tuanya bertengkar mengenai seusutu yang jika ia ingat lagi berhubungan dengan pencalonan sang ayah di dunia pemerintahan. Ambisi sang ayah yang tidak pernah berubah untuk menjadi orang nomor 1 di Indonesia selalu menjadi masalah utama di kehidupannya. Karena ambisi itu, sang ayah rela untuk menghalalkan segala cara demi mendapatkannya, bahkan rela untuk membuat kewarasan istri pertamanya, yaitu Ibu kandung Jake hilang. Semua kenangan menyakitkan itu tak akan pernah Jake lupakan seumur hidupnya, balas dendam adalah satu-satunya cara yang ia pikirkan saat ini. Jika memang hukum tidak bisa memberikan sang Ibu keadilan, maka Jake yang akan memberikannya.
Selama menunggu rencana selanjutnya, Jake membuat rencana lain yang tidak diketahui oleh Jay maupun Steve, yaitu mengungkap semua kejahatan sang ayah dan menegakkan keadilan bagi sang Ibu yang telah menderita selama puluhan tahun ini. Sedangkan Jay yang tidak tahu apa-apa hanya melakukan rencana awal mereka dengan tetap mencoba berhubungan dengan Steve.
"Jake, lu ngapa milih tempat ini si? Susah sinyal ini, gua susah buat dapet sinyal dari Steve," omel Jay, tanpa ia sadari Jake tidak ada di ruang tengah, membuat bulu kuduknya berdiri.
"Sial! Jake anjing jangan maen-maen!" Jay dengan segala omelannya mencari keberadaan Jake yang untungnya langsung ketemu saat ia melewati ruangan paling depan.
Menyadari kedatangan Jay, buru-buru Jake berjalan keluar dari ruangan seakan tidak terjadi apa-apa. "Kalo ngga bisa terhubung sama Steve, coba lacak Uncle Shua atau Uncle Han. Mereka berdua ada di pihak kita," titah Jake.
"Enak lu nyuruh-nyuruh, gua yang pusing sat!" protes Jay, namun tetap ia lakukan.
"Mau makan ngga lu? Ada resto enak deket sini," tawar Jake.
"Bisa-bisanya lu makan! Ini si Steve gimana nasibnya cok?!"
"Aman dia, gua yakin. Makan dulu dah, gua laper banget asli. Gua yang bayar dah,"
"Ya udah okay, soalnya lu maksa,"
Jay menutup laptopnya, lalu mengikuti Jake menuju kesebuah restoran yang katanya 'enak' itu. Jay ngga banyak protes kalau soal makanan yang dipilih oleh Jake karena ia tahu selera sahabatnya itu tinggi terhadap makanan. Jay mengakui untuk yang satu ini kalau setiap restoran pilihan Jake ngga akan pernah gagal.
Hanya butuh waktu 10 menit dengan berjalan kaki untuk sampai ke restoran 'enak' pilihan Jake. Mereka disambut oleh seorang pria tua yang sepertinya Jake mengenalnya dengan baik.
Jay tidak begitu mengetahui apa yang dibicarakan oleh keduanya, ia lebih memilih fokus mencari tempat duduk yang enak dan memilih menu makanan yang ada.
"Bisa kirim sinyal ke Steve ngga?" tanya Jake sesaat setelah ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Jay.
"Better sih tempatnya, dapet sinyal walaupun ngga sekenceng itu," jawab Jay.
"Gua tanya bisa kirim sinyal ke Steve ngga?" ulang Jake lagi dengan sedikit emosi.
"Iya bisa. Kebiasaan dah kalo lagi laper pasti emosian,"
Jake tak menghiraukan ucapan asbun Jay. "Kalo gitu kirim sandi morse dengan kasih beberapa bunyi di telfon umum tengah malem nanti. Gua yakin Steve udah ketemu sama Uncle Han,"
"Kenapa harus malem? sekarang aja sih?"
"Masih riskan. Lo juga belom dapet sinyal dari Uncle Shua, gue harus pastiin dulu kalo The Uncles, terutama Uncle Han ada di pihak kita. Steve juga udah bilang kalo dia bakal kasih kode lewat sandi morse melalui bunyi telfon umum kalo dia udah bareng sama Uncle Han. I hope he listen what i said..."
Jake harap-harap cemas jika Steve melupakan pesannya. Karena kode melalui sandi morse baru terpikirkan saat dalam pelarian tadi, ia juga tidak sempat memastikan kembali apakah Steve benar-benar menerima pesannya itu. Saat ini dirinya hanya berharap jika Steve benar dapat mendengar pesannya.
"Jadi kita ngga bakal gerak apa-apa sampe nanti malem?" tanya Jay memastikan kembali.
Jake menganggukkan kepalanya. Otaknya saat ini sedang terbagi menjadi dua, yaitu balas dendam kepada sang ayah serta menyudahi hubungannya dengan 'sosok ayah'.
Jay merasa ada yang janggal dengan tingkah Jake, namun ia tidak begitu mempedulikannya karena saat ini ia hanya ingin makan, perutnya sudah terlalu lapar menghirup sup-sup ikan yang begitu menggoda nafsu makannya. Setidaknya, untuk sebentar saja Jay ingin menikmati yang namanya makan dengan lezat tanpa harus di buru-buru akan sesuatu.
•••••

KAMU SEDANG MEMBACA
B-SIDE || [COMPLETED]
Mystery / ThrillerMereka bukan siapa-siapa. Hanya anak-anak yang tumbuh dalam dunia yang udah lama dipoles dari satu sisi: A-side. Rapi, penuh janji, tapi penuh kepalsuan. Tapi kebenaran nggak pernah diam. Ia tumbuh dengan pelan, sunyi, tapi pasti, tapi berada di sis...